Rutiana Dwi Wahyunengseh1[1], Veronica Kartika Indrawati2

 

The Sustainable Development Goals (SDGs) berlaku sejak 1 Januari 2016 sampai akhir tahun 2030 dengan 169 target, sebagai kelanjutan dari kesepakatan Millennium Development Goals (MDGs) yang telah berakhir periodenya pada tahun 2015. Hasil penelitian pencapaian MDGs menemukan bahwa Perkembangan beberapa indikator pembangunan di Indonesia menunjukkan belum seimbangnya pembangunan, sektor ekonomi, sosial lebih dominan dan kurang prioritas pada lingkungan (Fauzi & Octavianus, 2014). Oleh karena itu era SDGs diproyeksikan lebih memberikan keseimbangan, supaya pembangunan peningkatan kualitas kesejahteraan bangsa tidak merusak hak generasi yang akan datang atas keselamatan bumi (Susilo, 2015).

SDGs berisi seperangkat tujuan transformatif yang disepakati dan berlaku bagi seluruh bangsa tanpa terkecuali. SDGs memiliki 17 tujuan dengan 169 indikator. Peran pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan dan pelaksana di tingkat lokal berandil besar untuk mensukseskan tercapainya tujuan SDGs. Peran strategis tersebut dikarenakan pemerintah kota dan kabupaten (a) berada lebih dekat dengan warganya; (b) memiliki wewenang dan dana; (c) dapat melakukan berbagai inovasi; serta (d) ujung tombak penyedia layanan publik dan berbagai kebijakan serta program pemerintah. Pemerintah daerah diamanatkan oleh pemerintah pusat menyukseskan pencapaian pembangunan berkelanjutan dalam tiga dimensinya, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan secara seimbang. Undang-undang Republik Indonesia no 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Undang-undang Republik Indonesia no 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mengamanatkan bahwa:

  1. Dokumen perencanaan pembangunan daerah teriri dari (i) Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD) untuk kurun 20 tahun, (ii) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk kurun waktu 1 tahun, (iii) Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) untuk kurun waktu 1 tahun.
  2. Prioritas pembangunan nasional wajib diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan daerah Prioritas RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) harus diprioritaskan dalam RPJMD.

Ketentuan yang di atur dalam kedua Undang-undang tersebut menjadi kerangka kerja bagi pencapaian target SDGs melalui program dan kegiatan pembangunan oleh seluruh pemerintah daerah di Indonesia. Salah satu tujuan dalam SDGs adalah "mengakhiri segala bentuk kemiskinan di manapun (End poverty in all its forms everywhere)." Tujuan pertama ini memiliki 7 target, dimana cakupannya memuat elemen dari tujuan SDGs lainnya. Target dari tujuan pertama SDGs yaitu:

  1. Pada tahun 2030, mengentaskan kemiskinan ekstrim bagi semua orang di mana pun, di mana ukuran yang digunakan sekarang adalah mereka yang hidup dengan pendapatan kurang dari $ 1,25 perhari.
  2. Pada tahun 2030, mengurangi setidaknya separuh proporsi dari laki-laki, perempuan dan anak-anak segala umur yang hidup dalam kemiskinan dalam segala dimensi menurut definisi nasional. b. Di tingkat nasional mengimplementasikan sistem dan ukuran perlindungan sosial yang tepat bagi semua level dan pada tahun 2030 sudah mencapai cakupan yang cukup substansial terhadap yang miskin dan rentan.
  3. Pada tahun 2030, memastikan bahwa semua laki-laki dan perempuan, terutama mereka yang miskin dan rentan, memiliki hak yang sama terhadap sumber-sumber ekonomi, juga terhadap pelayanan dasar, kepemilikan dan kontrol atas tanah dan bentuk-bentuk kekayaan lainnya, warisan, sumber daya alam, teknologi baru yang layak dan pelayanan finansial, termasuk keuangan mikro.
  4. Pada tahun 2030, membangun daya tahan mereka yang miskin dan yang berada dalam situasi rentan dan mengurangi situasi tanpa perlindungan dan kerentanan terhadap kejadian-kejadian ekstrim yang berhubungan dengan perubahan iklim, juga kejutan dan bencana ekonomi, sosial dan lingkungan lainnya.
  1. Memastikan mobilisasi sumber daya yang signifikan dari berbagai sumber, termasuk melalui kerjasama pembangunan yang diperluas, dalam rangka menyediakan alat-alat yang cukup dan mudah diprediksi oleh negara-negara berkembang, khususnya negara-negara kurang berkembang, untuk mengimplementasikan program dan kebijakan yang dapat mengakhiri kemiskinan dalam semua dimensinya
  2. Menciptakan kerangka kerja kebijakan pada level nasional, regional dan internasional, yang berdasarkan pada strategi pembangunan yang berpihak pada yang miskin dan gender sensitive, untuk mempercepat investasi dalam aksi-aksi pengentasan kemiskinan

Pendekatan Teoretis Penanggulangan Kemiskinan

Persoalan kemiskinan memerlukan pemahaman multidimensi, yakni melihat kemiskinan dari berbagai dimensi dan memandang penyebab kemiskinan dari berbagai sisi. Kerangka pandang tentang kemiskinan mempengaruhi perumusan kebijakan, strategi, program yang didesain pemerintah untuk pengentasan kemiskinan. Dengan kata lain kerangka teori tentang fenomena kemiskinan memberi arah untuk melakukan analisis interpretif atas kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dirumuskan dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah.

Pendekatan penanggulangan kemiskinan yang berkembang di tingkat nasional direplikasi ke tingkat daerah. Secara garis besar perkembangan kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia sejak Orde Baru mengikuti paradigma pertumbuhan, pertumbuhan dengan pemerataan, dan pemberdayaan masyarakat. Paradigma pertumbuhan meletakkan pembangunan ekonomi sebagai tujuan utamanya. Asumsi yang dibangun pemerataan terjadi melalui efek tetesan ke bawah (tricke down effect) ketika kekuatan ekonomi nasionak sudah dibesarkan. Paradigma pertumbuhan ditengarai tidak sensitif dengan kemiskinan, ketika dihadapkan pada fakta adanya jurang kemiskinan antar kelompok pendapatan dan antar wilayah.

Pendekatan penanggulangan kemiskinan selanjutnya adalah paradigma pertumbuhan dengan pemerataan sebagai reaksi dari kelemahan paradigma sebalumnya, dengan mencoba menyeimbangkan antara pertumbuhan dengan pemerataan. Implementasinya munculnya sejumlah kebijakan yang secara spesifik diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan. Sebagai contoh, adanya paket subsidi dalam bidang kesehatan, pendidikan, pangan, perumahan yang diperluas jangkauan layanannya agar dapat diakses oleh penduduk miskin di kota dan perdesaan. Kritik dari pendekatan ini adalah dominasi kebijakan top-down dan kurang memberdayakan masyarakat, sehingga masih menyisakan jurang kemiskinan.

Paradigma selanjutnya adalah paradigma pemberdayaan masyarakat, sebagai upaya menjawab kelemahan dari paradigma kedua yang cenderung bersifat top down. Paradigma pemberdayaan masyarakat menempatkan masyarakat miskin sebagai subyek pembangunan (Korten dalam Hikmat, 2004:15-16). Kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak hanya berorientasi pada subsisi dan "charity policy" semata, tetapi juga kebijakan penguatan hak kelompok miskin untuk ikut bersuara, untuk merepresentasikan kepentingan-kepentingannya dalam proses kebijakan, sehingga kebijakan yang dibuat pemerintah dapat sesuai dengan aspirasi mereka. Oleh karena itu paradigma ini menghasilkan kebijakan penguatan kapasitas kelompok miskin baik melalui peningkatan kapasitas individual maupun melalui penguatan kelembagaan. Paradigma ketiga ini berkembang seiring dengan munculnya gagasan tentang governance dan tuntutan pada penguatan masyarakat sipil.

Penanggulangan kemiskinan daerah berarti mengalokasikan anggaran publik untuk mengurangi proporsi penduduk yang berada pada kondisi rentan di bawah garis kemiskinan atau kondisi hidup layak. Hal ini menyangkut politik anggaran, artinya penggunaan kekuasaan untuk menentukan "siapa menerima berapa" dan "melalui mekanisme yang seperti apa". Oleh karena itu pendekatan identifikasi penilaian program pro poor didasarkan pada perspektif kemiskinan dari sudut pandang sosial politik (Lehning, 2007).

Theories of economic inequality and distributive justice menjelaskan tentang ideologi dan keputusan politik yang menentukan alokasi sumber daya pubik. Distribusi keadian mempersyaratkan reditribusi dan pengakuan (recognition), karena keduanya merupakan produk dari struktur kekuasaan dan struktur budaya masyakarat (Fraser, 2003). Politik pengakuan (The Politics of Recognition) fokus pada identitas budaya, etnis, dan gender, karena pada kompok tertentu rawan terdiskriminasi sehingga mendapatkan akses dan kemanfaatan yang berbeda. Sementara itu politik distribusi (the politics of redistribution) fokus pada kelas sosial. Menurut Fraser (2003), pendekatan teori keadilan setidaknya ada 2 cara mengatasi yaitu potensi kelemahan yang muncul dari aspek kultural dan ekonomi, melalui politik affirmasi (the politics of affirmation) dan politik transformasi (the politics of transformation).

Politik afirmasi mengatasi masalah ketidak adilan politik dan kultural dengan memperhitungkan perbedaan perbedaan yang ada. Politik afirmatif dari distribusi dinyatakan oleh negara kesejahteraan dengan istilah economics and multiculturism, melibatkan perbedaan identitas dalam istilah-istilah kultur (Fiedman, 2002). Fraser mempercayai bahwa politik afirmasi gagal menghasilkan redistribusi ataupun pengakuan (recognition), dia menyarankan aspek ekonomis dan kultural dari politik transformatif dari redistribusi (Fieldman, 2002). Politik transformasi mencakup pelibatan yang lebih dalam dari struktur ketidakadilan yang mendasari yang menciptakan pembedaan ekonomi dan kultur antar kelompok. Tanpa dekonstruksi, publik akan tetap menyisakan pelabelan ratu kesejahteraan dan kelompok miskin tetap berjuang dengan label kelompok penghargaan diri sendiri yang rendah.

Kebijakan Pro-Poor Sebagai Politik Anggaran

Kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak terlepas dari fenomena politik anggaran. Sebagai proses politik, anggaran publik merefleksikan tindakan yang akan dan telah dilakukan oleh pemerintah. Keputusan alokasi anggaran merefleksikan kekuasaan kelompok elite, yaitu individu dan kelompok dalam eksekutif, legislatif, dan jaringan kelompok kepentingan yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan alokasi anggaran. Proses penganggaran juga melahirkan tindakan negosiasi rahasia dan informal di semua level pemerintahan (Rubin, 2006 dan Provan, 2001). Jadi proses anggaran publik membutuhkan norma akuntabilitas pemerintah. Secara teoretis tidak ada yang menyanggah nilai penting norma akuntabilitas dan transparansi proses penganggaran publik, tetapi pelaksanaannya sering tidak konsisten (Morgan, 2002; Mihaly Hogye, 2002; Wildavsky dan Caiden, 2012).

Franklin and Raadschelders (2004) menuliskan bahwa tahap lanjut dari pendekatan penganggaran sebagai politik anggaran adalah pendekatan etos demokrasi. Pendekatan ini memandang bahwa penganggaran publik juga dipengaruhi oleh pertimbangan asas persamaan, keadilan, dan nilai-nilai konstitusional. Etos demokratis mengisyaratkan aktor penganggaran harus menjelaskan informasi anggaran secara terbuka kepada publik untuk mencegah tindakan yang tidak tepat dari kelompok tertentu sehingga bertentangan dengan asas demokrasi penentuan alokasi anggaran.

Penambahan aspek etos demokrasi dalam penganggaran publik menjelaskan bahwa penganggaran publik bukan hanya sekadar angka, tetapi proses penganggaran publik bersifat politis. Selalu ada pertarungan kepentingan di antara kelompok kepentingan dalam proses penganggaran, misalnya pertarungan asas efisiensi dan efektivitas program dengan aspirasi kepemimpinan politik serta pertarungan kepada kelompok mana responsivitas dan akuntabilitas diprioritaskan. Kontestasi kepentingan tidak mungkin terhindarkan sehingga perlu penciptaan mekanisme yang menggeser kebiasaan bargaining ini menjadi arguing (Morgan, 2002: 26; Rubin, 2006: 285, Kelly & Rivenbark, 2011: 12-13).

Morgan (2002) menyebut penganggaran publik merepresentasikan jiwa democratic governance karena adanya multitujuan yang melekat pada fungsi penganggaran publik. Berikut ini adalah beberapa fungsi penganggaran publik. (1) Alat mengatur administratif dan kebijakan terkait alokasi dan distribusi sumber daya publik, (2) alat komunikasi dan informasi prioritas pembangunan ke berbagai kalangan publik, (3) redistribusi kesejahteraan kepada semua kelompok masyarakat, serta (4) sebagai alat untuk mencapai konsensus atas pertarungan untuk memilih antara (i) konstituen dan warga umum dan (ii) janji politik pejabat politis terpilih dengan rasionalitas tehnokratis program pembangunan yang harus didahulukan (Morgan, 2002: 26; Rubin, 2006: 285; Kelly & Rivenbark, 2011: 12-13). Penganggraan pro poor untuk penanggunggalan kemiskinan merupakan representasi akuntabilitas politik penganggaran.

Dengan kata lain, proses penganggaran publik dalam konteks democratic governance perlu membangun sistem akuntabilitas sosial. Namun perlu diantisipasi munculnya risiko paradoks dari proses demokratisasi pengenggaran publik. Proses demokratisasi penganggaran publik, ditandai dengan adanya keterbukaan informasi dan pelibatan warga. Namun keterbukaan informasi penganggaran publik dan pelibatan masyarakat juga memiliki sifat paradoks (Rubin, 2006; Hong, 2015) yang berpotensi menurunkan patologi, yaitu sifat negatif yang mengganggu pencapaian tujuan substantifnya, misalnya dominasi kelompok dan inefisiensi proses.

Adanya risiko patologis tersebut tidak berarti keterbukaan informasi dan pelibatan publik diabaikan. Pelibatan masyarakat perlu diberi ruang dalam proses penganggaran publik untuk mengurangi risiko perampokan elite yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif, maupun oleh kelompok masyarakat sendiri. Keterbukaan informasi dan pelibatan warga merupakan pilar utama akuntabilitas sosial. Perencanaan penganggaran melalui proses pelibatan warga berfungsi untuk mewujudkan demokratisasi penganggaran (Blakey, 2011; Welham, Krause, and Hedger, 2013). Akan tetapi, proses ini sarat keputusan teknokratis dan proses politik yang mencerminkan “apa yang dianggap penting untuk didanai dengan belanja publik” (Rubin, 2006; Wildavsky dan Caiden, 2012). Di sisi lain, proses tersebut juga memuat elemen-elemen prosedur demokratis.

Dengan kata lain, proses penganggaran publik dalam konteks democratic governance perlu membangun sistem akuntabilitas sosial. Namun perlu diantisipasi munculnya risiko paradoks keterbukaan informasi dan pelibatan warga yang bersifat kontraproduktif atau mengganggu fungsi demokratisasi penganggaran. Gangguan disfungsi ini merepresentasikan hadirnya patologi dalam demokratisasi penganggaran, termasuk di dalamnya penganggaran pubik untuk penanggulangan kemiskinan.

Kerangka patologi yang digunakan dala kajian ini adalah patologi akuntabilitas sosial dari sisi pemerintah dan sisi masyarakat. Patologi akuntabilitas sosial terjadi karena interaksi antarelemen akuntabilitas sosial (accountor, accountee, forum, informasi) berlangsung dalam lingkungan budaya formalitas prosedural dan iklim komodifikasi (Wahyunengseh, 2016). Patologi akuntabilitas sosial melahirkan akuntabilitas sosial semu (pseudo social accountability). Akuntabilitas sosial semu mengokohkan dominasi kekuasaan elitis. Kehadiran patologi menyebabkan supply driven dan demand driven mekanisme kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak otomatis menghasilkan demokratisasi implementasi penganggaran publik yang pro poor. Patologi dari sisi supply driven (pemerintah) antara lain: Perwujudan detail bentuk patologi (i) Oportunisme birokrasi (bureaucratic opportunism), (ii) Pendewaan kewajiban dan wewenang (reification of obligations and author), (iii) Melempar tanggung jawab (buck passing). Patologi dari demand driven (sisi masyarakat) antara lain: (i) Patronasi, klientilisme/favoritisme, (ii) Komodifikasi suara warga (Wahyunengseh, 2016).

Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah

Kemiskinan dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan dimaknai sebagai ketidakmampuan atau keterbatasan kemampuan penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidup pada batas minimum kesejahteraan ekonomi. Manifestasi keterbatasan atau kekurangmampuan adalah: (1) keterbatasan/ketidakmampuan memenuhi asupan kalori dan protein untuk bertahan hidup; (2) keterbatasan/ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan sandang untuk hidup layak; (3) keterbatasan/ketidakmampuan memenuhi kebutuhan biaya kesehatan; (4) keterbatasan/ketidakmampuan memenuhi kebutuhan biaya; (5) keterbatasan/ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang memiliki sarana minimal penunjang kesehatan.

Ketidakmampuan atau keterbatasan memenuhi kebutuhan hidup ada yang be risiko memberi ancaman darurat untuk keberlangsungan hidup, yaitu jika tidak mampu memenuhi asupan pangan, sandang, dan mengatasi kesehatan pada batas minimal. risiko yang lebih mengancam ini menuntut penanganan pengentasan kemiskinan lebih utama. Intervensi penanganan lebih memerlukan kebijakan karikatif, semisal bantuan sosial, bantuan langsung, dan sejenisnya.

Jenis risiko ketidakmampuan atau keterbatasan memenuhi kebutuhan hidup yang kedua lebih bersifat ancaman jangka menengah, yaitu apabila warga masyarakat memiliki keterbatasan modal untuk meningkatkan kemampuan pendapatan dan daya beli memenuhi kebutuhan yang mutlak untuk kesejahteraan dasar. risiko jenis kedua ini bersumber pada keterbatasan modal pendidikan, gangguan modal kesehatan, dan beban keluarga yang harus ditanggung. Intervensi penanganan risiko kemiskinan jenis kedua ini memerlukan kebijakan yang berbasis pemberdayaan ekonomi.

Jenis risiko ketiga juga bersifat jangka menengah atau jangka panjang, yaitu ketidakmampuan atau keterbatasan memenuhi kebutuhan hidup yang disebabkan oleh buruknya daya dukung lingkungan fisik untuk produkif. Semisal, rumah atau lingkungan pemukiman yang tidak sehat rentan mengancam kesehatan, dan pada gilirannya mengancam kemampuan produktif untuk memperoleh penghasilan. Kondisi rumah atau lingkungan pemukiman sebenarnya juga produk atau cerminan kondisi kemiskinan itu sendiri. Intervensi penanganan risiko kemiskinan jenis kedua ini memerlukan kebijakan yang berbasis pemberdayaan ekonomi, dan pemberdayaan komunitas sosial, dan jika memungkinkan dilengkapi kebijakan karikatif berwujud subsidi atau bantuan sosial. Penggambaran situasi tersebut dikerangkakan melalui Gambar 1.1. berikut.

Gambar 1.1. Kerangka Logis Antar Variabel Kemiskinan dalam Konsep Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah

 

Kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak terlepas dari peran masyarakat sipil yang didorong oleh kehadiran lembaga donor. Organisasi masyarakat sipil dengan bantuan dana dari Ford, dan lembaga donor lain masyarakat dilatih civic education untuk hak ECOSOB, transparansi anggaran, advokasi kebijakan publik yang berpihak kepada warga miskin supaya mereka paham akan hak dan kewajibannya. Tujuan dari pelatihan-pelatihan tersebut untuk forum warga adalah mendorong terwujudnya anggaran daerah yang berpihak pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat, khususnya masyarakat marginal. Mendorong keterlibatan masyarakat miskin dalam proses penyusunan kebijakan anggaran daerah. Masyarakat sipil melakukan advokasi sebagai usaha sistematis dan terorganisasi untuk memengaruhi perubahan dalam kebijakan penganggaran melalui perencanaan tahunan daerah yang melibatkan forum warga.

Selain hal positif yang dlakukan pemerintah dan NGO (Non Government Organization) dalam upaya penanggulangan kemiskinan, kajian ini menemukan juga tantangan patologis yang dapat mengganggu kemanfaatan dampak program bagi kelompok misik yang sesungguhnya (The real poor).

Gejala patologis dari pihak pemerintah muncul dalam bentuk Oportunisme birokrasi (bureaucratic opportunism) dan Pendewaan kewajiban dan wewenang (reification of obligations and author). bureaucratic opportunism berarti Choose to do what is accomodative based on the situation that will give personal benefits. Sedangkan reification of obligations and author adalah Rigidly follow the regulations and disregarding/ignoring the personal concerns.

Sebagai contoh, kasus dari suatu daerah, pemerintah menuliskan rencana program penanggulangan kemiskinan, secara teknokratis perumusan sasaran, strategi, kebijakan, program serta indikator secara terukur. Namun proporsi secara keseluruhan rumusan program yang merujuk secara eksplisit kelompok sasaran penerima kelompok miskin hanya sebesar 8 dari 171 jenis program atau sekitar 3%. Tantangan patologis direfleksi dari pelaksanaan program SPKD (Strategi Penanggulangan Kemiskinan daerah) tahun 2011-2015. Temuannya adalah konsistensi penjabran program kemiskinan ke dalam kegiatan yang penerima manfaat riilnya adalah kelompok miskin. Jebakannya adalah bahasa program tertulis untuk kelompok miskin, namun pelaksanaannya penyerapan anggaran banyak digunakan untuk belanja administrasi dan belanja honor aparatur. Jadi reification of obligations and author nampak pada gejala bahwa secara administratif nomen klatur penganggaran mengacu pada program kemiskinan, meskipun riil penggunaan anggaran kurang tepat sasaran pada kelompok miskin. Misalnya: penerima bantuan full jaminan asuransi kesehatan dan pendidikan ternyata ada yang berasal dari kelompok yang tidak miskin. Patologi bureaucratic opportunism ditemukan dari kasus penerima program bantuan kemiskinan yang tidak tepat sasaran. Ketidaktepatan sasaran penerima manfaat program juga diakibatkan karena pemerintah kota tidak rutin melakukan verifikasi data lapangan, karena hanya bersandar pada apa yang sudah tertulis di data. Ketika dituntut tanggungjawab pada saat ada kasus, kecenderugan birorat melempar tanggung jawab dengan mengatakan bahwa yang dilakukan sudah sama dengan yang tertulis. Padahal, ada kemungkinan data tertulis tidak tepat, namun tidak dilakukan verifikasi. Patologi komodifikasi forum akuntabilitas sosial juga dapat muncul dari pihak anggota DPRD yang mengadakan reses. Mereka berpikir ini kesempatan memelihara dukungan konstituen sehingga akan mengikuti kehendak konstituen. Mereka mempelajari bahwa kemauan konstituen adalah mendapatkan bantuan dalam bentuk barang atau uang. Oleh karena itu, pengikat komunikasi di antara mereka adalah tentang apa dapat diberikan oleh anggota dewan kepada pemberi suara di dapilnya.

Patologi dari pihak masyarakat muncul dari gejala Patronasi, klientilisme/ favoritisme, dimana kelompok penerima bantuan program kemiskinan lebih banyak dari kelompok yang memiliki kedekatan dengan anggota DPRD atau partai politik. Gejala patologi lainnya adalah patologi komodifikasi suara warga, yaitu adanya aktivis warga yang menggunakan isu atau tuntutan dari suatu kelompok warga digunakan untuk menekan pemerintah atau politisi, tetapi berujung untuk kepentingannya sendiri. Efek lainnya adalah kelompok klient atau denkat dengan kekuasaan mempunyai sumber daya yang dapat ditawarkan dalam negosiasi kekuasaan di pasar gelap. Kondisi ini melahirkan patologi makelar/broker kebijakan dan menuai keuntungan pribadi dari mekanisme pasar gelap. Sebagai contoh, adanya kelompok yang tidak miskin tetapi mendapat fasilitas bantuan kartu kesehatan dan kartu bantuan pendidikan yang semestinya menjadi hak kelompok miskin.

Mengapa terjadi patologi pada implementasi program penanggulangan kemiskinan padahal proses perencanaan kebijakannya dilakukan dalam kerangka kerjanya berbasis prinsip transparansi, partisipasi, dan kontrol publik? Hal tersebut disebabkan lingkungan yang memicu kemunculan patologi, yaitu orientasi formalitas prosedural dari birokrasi dan pejabat politis, serta orientasi komodifikasi dari pihak warga sipil, untuk kepentingan ekonomi maupun kedekatan dengan lingkar kekuasaan.

Prospek Pencapaian Tujuan SDGs “End Poverty”

Prospek pencapaian SDGs, terutama tujuan pertama, yaitu "End poverty in all its forms everywhere" sangat prospektif di Indonesia. Faktor pendukung dari sisi demand side yaitu: (a) adanya Non Government Organization yang mengembangkan program kemiskinan dibantu lembaga donor; (b) adanya forum warga kelompok rentang yang didampingi NGO untuk penguatan kapasitas melakukan advokasi hak ekonomi dan sosialnya.

Selain peluang keberhasilan, ada juga tantangan yang dihadapi dalam pencapaian tujuan SDGs, yaitu munculnya gejala patologi. Dari sisi pemerintah ditemukan gejala patologi reification of obligations and author dan patologi bureaucratic opportunism. Dari sisi masyarakat ditemukan Patologi Patronasi, klientilisme/ favoritisme, patologi komodifikasi suara warga, patologi makelar/broker.

 

REFERENSI

Blakey, H. (2016). Radical innovations or technical fix? Participatory Budgeting in Bradford: how Latin Americal participatory traditions are reinterpreted in British context. University of Bradford: International Centre for Participation Studies Department of Peace Studies, -.

Fauzi, A., & Oxtavianus, A. (2014). The Measurement of Sustainable Development in Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 15, No.1, 68-83.

Feldman, L. C. (2016). Redistribution, recognition, and the state: The irreducibly political dimension of injustice. Sage: Political Theory Vol.30, 410-440.

 

 

 

[1] Fisip, Universitas Sebelas Maret, 2Bappeda Kota Magelang