Rutiana Dwi Wahyunengseh1[1], Sri Hastjarjo2, Syifaul Arifin3
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mewajibkan bupati dan wali kota di Jawa Tengah yang baru dilantik agar memanfaatkan media sosial untuk berinteraksi dengan warga mereka. Ucapan Ganjar itu disampaikan saat sambutan pelantikan kepala daerah secara virtual pada 26 Februari 2021.
Setelah itu, ada yang "gercep", istilah warganet untuk menyebut gerak cepat, namun ada juga kepala daerah yang agak santai menanggapi permintaan Gubernur itu. Imbauan Gubernur Ganjar itu tidak lepas dari pengelamannya di dunia maya. Gubernur Ganjar tergolong aktif bermedia sosial. Di Twitter, akun @ganjarpranowo sudah diberi tanda centang biru alias terverifikasi. Pengikutnya mencapai 1,8 juta akun. Dia sering mencuit tentang berbagai hal soal Jateng. Warganet juga sering melapor kepada Ganjar soal jalan rusak, warga yang butuh pertolongan, banjir dan bencana alam lain yang dialami warga, rakyat yang butuh bantuan, dan sebagainya melalui Twitter. Respon gercep, meminta anak buahnya menindaklanjuti. Jika itu terkait kabupaten/daerah, biasanya pak Ganjar mencolek pejabat di daerah itu. Cara seperti itu biasanya efektif. Sebuah masalah bisa langsung ditangani.
Hal sama juga dilakukan Kang Emil, panggilan akrab Gubernur Jawa Barat Ridwal Kamil. Akun Twitter @ridwankamil diikuti 4,4 juta akun. Jumlah yang cukup banyak untuk kalangan birokrat-politikus. Dia juga menggunakan medsos untuk berinteraksi dengan warganet. Tak hanya warga Jabar, pengikutnya juga dari luar Jabar. Keluhan, aspirasi, masukan, hingga kritik sering disampaikan melalui Twitter. Bahkan, Twitter sering jadi alat untuk berinteraksi untuk ngobrol hal-hal pribadi. Baik Ganjar Pranowo maupun Ridwan Kamil tidak jarang mengunggah foto pribadi ke medsos baik saat berolahraga, kulineran, hingga kebersamaan dengan keluarga. Unggahan seperti itu juga menarik warganet. Bukan melulu soal pembangunan dan persoalan wilayah.
Apa yang dilakukan kedua gubernur di atas adalah praktik bagus bagi kepala daerah dan birokrat tentang memanfaatkan medsos. Praktik bagus itu perlu ditiru, diterapkan di daerah lain. Para ASN juga bisa melakukan hal sama. Karena itu, Bappeda bermitra dengan Tim Peneliti dari Fisip Universitas Sebelas Maret memberikan pelatihan kepada pengelola media OPD mengoptimalkan pemanfaatan media sosial, secara khusus untuk mengkampanyekan isu sinergitas lintas pelaku menurunkan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan kota Magelang.
Pelatihan pengelolaan media sosial untuk isu kesejahteraan yang dilakukan oleh Tim Pengabdian Masyarakat dari Fisip Universitas Sebelas Maret ini juga menghasilkan buku panduan yang berjudul “Panduan Pengelolaan Media Sosial Untuk Isu Kebijakan Kesejahteraan Sosial”, dibagikan untuk semua peserta pelatihan.
Buku panduan ini disusun dengan maksud membantu Organisasi Perangkat Daerah (OPD) mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk menyampaikan konten informasi publik dalam rangka mendukung pencapaian visi daerah. Di era new media ini pemerintah perlu memanfaatkannya dengan tepat dan maksimal untuk membangun komunikasi partisipatoris dengan publik dan seluruh pihak yang berkepentingan. Alasan yang melatarbelakangi perlunya disusun buku ini adalah dorongan normatif dan dorongan praktis.
Secara normatif, ada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemanfaatan Media Sosial Instansi Pemerintah. Dalam peraturan itu disebutkan proses pemanfaatan media sosial meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. Pemerintah harus mengomunikasikan kebijakan, rencana kerja, dan capaian kinerja kepada masyarakat luas, melalui media tradisional, media konvensional, dan media baru, dengan alasan media sosial bersifat dua arah dan terbuka, yang memungkinkan para penggunanya dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi.
Penggunaan dan pemanfaatan media sosial merupakan salah satu cara dalam mempromosikan serta menyebarluaskan program dan kebijakan pemerintah serta berinteraksi dan menyerap aspirasi masyarakat sehingga mencapai saling pengertian untuk kepentingan bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Alasan praktis yang melatarbelakangi adalah masyarakat di Indonesia telah sampai pada paradigma masyarakat informasi (information society). Masyarakat informasi adalah masyarakat yang menggunakan informasi sebagai basis peningkatan kemampuan hidupnya baik dalam kegiatan ekonomi, sosial, politik maupun budaya. Ciri yang tampak dari masyarakat informasi adalah pemanfaatan dan akses yang tinggi dalam berkomunikasi serta mencari informasi melalui perangkat digital (digital devices). Hal ini dibuktikan dari survei Hootsuite dan We Are Social bahwa penetrasi internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 202,6 juta jiwa dari jumlah penduduk Indonesia 274,9 juta. Jadi, 73,7 persen orang Indonesia mengakses internet. Jumlah itu meningkat 15,5 persen atau 27 jiwa dari awal 2020.
Melihat data tersebut, birokrat, ASN, dan pejabat pemerintahan tidak hanya perlu melirik media sosial, tetapi terjun, mendalami, dan menggunakannya untuk mendukung kerja. Medsos itu bukan sekadar media untuk berinteraksi dan bersosialisasi, tetapi digunakan secara optimal. Tidak cukup disambi. Akun medsos dipegang oleh admin yang memahami karakteristik medsos maupun warganet yang dihadapi.
Karena itu, pengelola medsos di lembaga pemerintahan diharapkan memiliki perencanaan dan pengelolaan yang baik dan terukur. Konten-konten yang dibuat oleh lembaga pemerintahan mempunyai tuntutan yang tinggi karena merupakan representasi pemerintah dan organisasi. Oleh karena itu, buku ini dapat diharapkan dapat menjadi panduan praktis bagi para pengelola medsos di OPD Pemerintah Kota Magelang.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kota Magelang dan FGD dengan OPD Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Komunikasi dan Informasi Statstik (Diskominsta), Sekretariat Daerah Bagian Humas (Humas), Dinas Sosial (Dinsos), kecamatan, dan kelurahan ditemukan bahwa isu kebijakan penanggulangan kemiskinan belum digarap secara khusus melalui social media official milik pemerintah. Padahal, isu kemiskinan dan kebijakan penanggulangan kemiskinan menjadi salah satu isu yang dapat menyatukan berbagai pilar governance, yaitu OPD, dunia usaha, forum masyarakat, salah satunya adalah Forum Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TJSLP) atau Forum CSR (Corporate Social Responsibility).
Rujukan:
Civiclife. "5 Social Media Strategies for Local Government Engagement". Diunduh dari https://www.civiclive.com/cms/One.aspx? portalId=211568&pageId=316704.
Hootsuite & We Are Social. "Digital 2021 Global Digital Overview", retrieved from https://datareportal.com/reports/digital-2021-global-digital-overview. Singapore: Hootsuite & We Are Social, 2021.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia nomor 83 tahun 2012 tentang Pedoman Pemanfaatan Media Sosial Instansi Pemerintah.
Shea, Virginia. Netiquette. Vancouver: Albion Books, 1994.
Sobaci, Mehmet Zahid (ed.). Social Media and Local Governments Theory and Practice. Switzerland: Springer International Publishing, 2016.
Tim Pusat Humas Kementerian Perdagangan RI. Panduan Optimalisasi Media Sosial untuk Kementerian Perdagangan RI. Jakarta: Kementerian Perdagangan, 2014.
Widiastuti, Rosarita Niken. Memaksimalkan Penggunaan Media Sosial dalam Lembaga Pemerintah. Direktorat Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika: Informasi dan Komunikasi Publik, 2018.
1,2Tim Peneliti dari Fisip Universitas Sebelas Maret, 3Solo Pos Institute