RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG (RPJP) DAERAH KOTA MAGELANG TAHUN 2005-2025

1 PENDAHULUAN

1.1 PENGANTAR

Berdasarkan sejarah, hari jadi Kota Magelang ditentukan atas dasar nama yang terkait dengan kata “Magelang”. Pemakaian nama Magelang ini dapat ditelusuri melalui pemakaian nama tempat yang terkenal pada zaman dahulu, dan zaman sekarang tempat ini masih dikenal oleh penduduk setempat.

Berdasarkan hasil penelitian dan dengan memperhatikan beberapa faktor dan kriteria yang telah disepakati bersama disimpulkan bahwa Hari Jadi Kota Magelang adalah tanggal 11 April 907 Masehi dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1989 bahwa Hari Jadi Kota Magelang secara resmi pada tanggal 11 April.

Secara geografis Kota Magelang terletak pada posisi 7°26´18˝-7°30´9˝ Lintang Selatan dan 110°12´30˝-110°12´52˝ Bujur Timur. Posisi ini terletak persis di tengah-tengah Pulau Jawa. Apabila dilihat dari posisi ini maka jarak ke kota-kota jawa lainnya relatif sama dan mudah jalur transportasinya, sehingga akan memudahkan siapapun yang akan menuju kota-kota lainnya di Pulau Jawa.

Sebagai kota terkecil di Jawa Tengah, Kota Magelang hanya mempunyai luas wilayah 0,06% dari keseluruhan luas wilayah Provinsi Jawa Tengah atau 18,12 Km². Dari luasan wilayah tersebut, secara administratif terbagi menjadi 3 (tiga) Kecamatan dan 17 Kelurahan dengan jumlah penduduk 118.646 jiwa (tahun 2006) dengan tingkat kepadatan 6.548 jiwa/km².

Semenjak terbentuknya hingga saat ini penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Magelang beserta segenap komponen masyarakat Kota Magelang telah mengupayakan untuk peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Selama ini telah dikenal beberapa rencana pembangunan yang disusun untuk memberikan arah pembangunan daerah. Rencana pembangunan ada yang berdimensi waktu jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Semua rencana pembangunan tersebut telah disusun dan diaplikasikan hingga memberikan hasil yang cukup signifikan bagi perkembangan dan kemajuan daerah.

Pemilihan Walikota secara langsung setiap periode lima tahunan menjadi pertimbangan utama pentingnya penyusunan rencana pembangunan daerah yang berkesinambungan. Mengingat pentingnya rencana pembangunan dalam dimensi jangka panjang, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka Pemerintah Kota Magelang menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah untuk kurun waktu tahun 2005-2025.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah Kota Magelang merupakan dokumen perencanaan pembangunan Kota Magelang yang substansinya memuat visi, misi dan arah pembangunan daerah sebagai satu kesatuan kerangka makro perencanaan pembangunan dalam format Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. RPJP Daerah disusun dengan maksud menyediakan dokumen perencanaan yang komprehensif dalam kurun waktu 20 (dua puluh) tahun dari 2005 sampai dengan 2025 yang digunakan sebagai acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah untuk setiap jangka waktu lima tahunan.

Acuan utama penyusunan RPJP Daerah adalah rumusan visi, misi, dan arah pembangunan jangka panjang daerah dengan mendasarkan kepada: (1) data yang berkaitan dengan indikator kesejahteraan masyarakat; (2) statistik fungsi-fungsi pemerintahan di bidang sosial budaya; (3) statistik bidang pemerintahan umum; (4) data bidang fisik prasarana; (5) kondisi ekonomi makro daerah.

Karena RPJP Daerah berfungsi sebagai dokumen publik yang merangkum arah pembangunan dua puluh tahunan di bidang pelayanan umum pemerintahan dan pembangunan, maka proses penyusunannya dilakukan melalui serangkaian forum musyawarah perencanaan partisipatif, dengan melibatkan berbagai unsur pelaku pembangunan (stake holders), eksekutif, legislatif dan yudikatif, serta para pakar akademisi yang berkompeten dengan memperhatikan kebijakan dan program Pemerintah Provinsi dan Nasional.

1.2 PENGERTIAN

RPJP Daerah Kota Magelang adalah dokumen perencanaan yang mempunyai masa berlaku 20 tahun. Penyusunannya mengacu kepada RPJP Nasional dan RPJP Daerah Propinsi Jawa Tengah serta memperhatikan RPJM Nasional dan RPJM Daerah Propinsi Jawa Tengah yang disesuaikan dengan potensi dan karakteristik daerah. RPJP Daerah akan menjadi acuan dalam setiap penyusunan Dokumen Lima Tahunan RPJM Daerah, Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD), Dokumen Satu Tahunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (Renja-RKPD) untuk skala Daerah, dan Rencana Kerja SKPD untuk Satuan Kerja Perangkat Daerah. Adanya keterkaitan antar dokumen perencanaan pembangunan diharapkan dapat mewujudkan sinkronisasi dan sinergisitas pelaksanaan pembangunan serta sharing pembiayaan pembangunan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1.3 MAKSUD DAN TUJUAN

RPJP Daerah Kota Magelang Tahun 2005-2025 disusun dengan maksud memberikan arah dan acuan bagi seluruh unsur pemerintah daerah, masyarakat dan pihak swasta di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan daerah sesuai visi, misi dan arah pembangunan. Sedangkan tujuannya adalah :

  1. Menyediakan satu pedoman berwawasan 20 tahun ke depan untuk menentukan arah pembangunan daerah, dengan mendasarkan diri pada kondisi riil dan proyeksi ke depan.
  2. Memudahkan seluruh jajaran aparatur Pemerintah Daerah dan DPRD untuk memahami dan menilai arah kebijakan dan program serta kegiatan lima tahunan daerah.
  3. Menjaga kesinambungan pelaksanaan pembangunan Kota Magelang apabila terjadi pergantian Kepala Daerah.
  4. Menjamin terciptanya sistem pembangunan yang sinergis di daerah dan atau antar daerah dan wilayah pada skala regional, provinsi, serta nasional.
  5. Mendorong partisipasi antar pelaku pembangunan untuk dapat berperan serta secara nyata dalam pembangunan Kota Magelang.

1.4 LANDASAN HUKUM

Dalam penyusunan RPJP Daerah Kota Magelang, sejumlah peraturan yang digunakan sebagai landasan hukum adalah:

  1. Undang–Undang Nomor 17 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota Kecil dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat;
  2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169);
  3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4287);
  4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
  5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
  6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
  7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
  8. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
  9. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);
  10. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 97, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4664);
  12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
  13. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);
  14. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4817);
  15. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009;
  16. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-udangan;
  17. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 21 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah;
  18. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 11 Tahun 2003 tentang Rencana Strategis Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003-2008 (Lembaran Daerah Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003 Nomor 109);
  19. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Propinsi Jawa Tengah Tahun 2005 – 2025 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008 Nomor 3 Seri E Nomor 3);
  20. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah Kota Magelang (Lembaran Daerah Kota Magelang Tahun 2008 Nomor 2);
  21. Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Susunan, Kedudukan dan Tugas Pokok Organisasi Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Daerah Kota Magelang Tahun 2008 Nomor 3);
  22. Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Susunan, Kedudukan dan Tugas Pokok Organisasi Dinas Daerah (Lembaran Daerah Kota Magelang Tahun 2008 Nomor 4);
  23. Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Susunan, Kedudukan dan Tugas Pokok Organisasi Lembaga Teknis Daerah, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Satuan Polisi Pamong Praja (Lembaran Daerah Kota Magelang Tahun 2008 Nomor 5);
  24. Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 6 Tahun 2008 tentang Susunan, Kedudukan dan Tugas Pokok Organisasi Kecamatan dan Kelurahan (Lembaran Daerah Kota Magelang Tahun 2008 Nomor 6);

1.5 HUBUNGAN RPJP DAERAH DENGAN DOKUMEN PERENCANAAN LAINNYA

RPJP Daerah Kota Magelang Tahun 2005-2025 yang merupakan perencanaan pembangunan dalam kurun waktu 20 tahunan, digunakan untuk menjaga kesinambungan pembangunan. RPJP Daerah harus menjadi acuan dalam menyusun perencanaan lima tahunan atau perencanaan pembangunan jangka menengah. Dalam RPJP Daerah telah digariskan mengenai apa yang menjadi prioritas pembangunan lima tahun pertama hingga lima tahun ke empat. Berkaitan dengan hal ini, maka visi, misi kepala daerah yang sekaligus akan menjadi visi, misi dan program kerja di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah maka penjabaran kebijakan pembangunan ke dalam RPJM Daerah harus mengacu kepada kebijakan RPJP Daerah. Pada masa transisi sebelum diundangkannya RPJP Daerah, Kota Magelang pada akhir bulan Agustus Tahun 2005 baru mempunyai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hasil pemilihan langsung. Pada waktu yang bersamaan proses penyusunan RPJP Daerah sedang dilaksanakan, sehingga pada penyusunan RPJM Daerah lima tahun pertama belum bisa mengacu kepada RPJP Daerah. Namun demikian untuk menjaga kesinambungan kebijakan daerah substansi RPJM Daerah pada lima tahun pertama tersebut akan dimasukkan dan disesuaikan di RPJP Daerah, hal ini telah diatur oleh Undang-Undang. Selanjutnya RPJM Daerah akan dijabarkan ke dalam Rencana Strategis di Satuan Kerja Perangkat Daerah, disamping itu akan dijabarkan pula di dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RPKD) yang merupakan perencanaan tahunan daerah. Dari Rencana Kerja Pemerintah Daerah itulah Satuan Kerja Perangkat Daerah dan masyarakat bisa mengacu sebagai pedoman dalam menyusun kegiatan dalam kerangka regulasi dan kerangka anggaran setiap tahun. Proses akhir dalam perencanaan disusunlah Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagai pedoman bagi eksekutif dan legislatif dalam menjalankan roda pemerintahan.

1.6 TATA URUT

Tata urutan penulisan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah Kota Magelang Tahun 2005-2025 adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, berisi tentang pengantar penyusunan RPJP Daerah, pengertian RPJP Daerah, maksud dan tujuan, landasan normatif penyusunan serta tata urutan penyusunan RPJP Daerah.
Bab II Kondisi umum, menguraikan kondisi daerah pada saat ini, tantangan yang dihadapi dan modal dasar yang dimiliki untuk didayagunakan dalam pembangunan daerah.
Bab III Visi dan misi pembangunan Kota Magelang Tahun 2005-2025 menguraikan Visi dan Misi Pembangunan Kota Magelang dalam kurun waktu 20 tahun ke depan.
Bab IV Arah, tahapan, dan prioritas pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025 dijabarkan ke dalam 4 (empat) tahapan pembangunan jangka menengah 5 (lima) tahunan, dimana masing-masing tahap memuat skala prioritas dalam kerangka mewujudkan visi dan misi pembangunan jangka panjang.
Bab V Kaidah Pelaksanaan
Bab VI Penutup.

2 KONDISI UMUM

Dalam melaksanakan pembangunan jangka panjang 20 tahun ke depan akan dimulai dengan mengupas situasi dan kondisi pada saat ini yang menguraikan tentang identifikasi masalah dan tantangan terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat dengan cakupan meliputi bidang sosial dan kehidupan beragama; ekonomi; ilmu pengetahuan dan teknologi; sarana dan prasarana; politik; keamanan dan ketertiban; hukum dan aparatur; wilayah dan tata ruang; dan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Dari penjabaran komponen-komponen itu selanjutnya akan dirumuskan langkah-langkah pembangunan yang perlu ditempuh pada masing-masing tahapan dalam kurun waktu 20 tahun ke depan.

2.1 KONDISI SAAT INI

2.1.1 Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama

2.1.1.1 Kehidupan Beragama

Bidang sosial budaya dan kehidupan beragama merupakan aspek yang fundamental dan berperan sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan manusia yang diejawantahkan dalam wujud peningkatan kesejahteraan dan kualitas taraf hidup masyarakat. Pada titik ini, nilai-nilai budaya bangsa yang mengacu kepada Pancasila dan UUD 1945 perlu direvitalisasi ke dalam suatu pranata-pranata yang aplikatif sehingga secara substansial mampu menaungi sekaligus menjadi pijakan dasar dalam penyelenggaraan pembangunan daerah. Dalam praksisnya selama ini, ternyata nilai-nilai ideologis bangsa ini masih belum terimplementasikan secara utuh dan nyata. Lebih dari itu, sejalan dengan penyelenggaraan pembangunan yang mengacu kepada karakteristik dan spesifikasi daerah, serta dalam kerangka memperkuat kohesi dan ketahanan sosial yang menyangkut interaksi antar individu atau kelompok masyarakat dapat dirasakan adanya kecenderungan terabaikannya budaya daerah yang memuat nilai-nilai, sikap, perilaku, kebiasaan (customs), tradisi, adat istiadat, dan bentuk-bentuk kearifan lokal lainnya. Penyertaan dan pengembangan budaya daerah, misalnya petuah jangan melanggar mo-li-mo (5M), yaitu tidak boleh madat/mabuk, maling (mencuri), madon (berzina), main (judi), dan mateni (membunuh) ke dalam proses penyelenggaraan pembangunan, pemerintahan, dan kemasyarakatan akan memperkuat kepribadian dan jati diri serta dapat menepis dari godaan untuk berperilaku yang tidak terpuji.

Pembangunan di bidang sosial dan budaya ditandai dengan terwujudnya karakter kota yang ramah lingkungan, bermartabat, memiliki kesetiakawanan sosial dan toleransi yang tinggi antar umat beragama serta menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan gender. Kepedulian masyarakat didasari rasa saling percaya antar umat beragama dan pembangunan dilaksanakan secara terpadu, komprehensif, serta berkelanjutan sehingga benar-benar tepat sasaran dan bermanfaat bagi kemaslahatan umum.

Terciptanya kerukunan hidup umat beragama yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan keharmonisan dalam kehidupan kemasyarakatan menjadi prakondisi yang sangat dibutuhkan untuk kelancaran akselerasi peningkatan kesejahteraan dan kualitas pelayanan publik. Pembangunan kehidupan beragama merupakan salah satu agenda yang secara implementatif diwujudkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantiítas sarana dan prasarana peribadatan yang disertai pula dengan upaya-upaya peningkatan pemahaman terhadap nilai-nilai ajaran agama yang dipeluknya. Usaha menjaga kerukunan antar umat beragama telah difasilitasi pemerintah melalui berbagai wadah aspirasi masyarakat dalam bentuk organisasi sosial keagamaan, yayasan, dan paguyuban lintas agama; pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB); kegiatan-kegiatan kepedulian sosial terhadap masyarakat yang kekurangan atau yang sedang dilanda bencana; serta kegiatan sosial keagamaan lainnya. Selain itu transformasi nilai-nilai agama juga diselenggarakan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal dan non formal, disamping juga dilaksanakan proses pembelajaran keagamaan secara informal melalui keluarga dan lingkungan masyarakat sekitarnya. Walaupun demikian, dalam realitasnya harus diakui bahwa seringkali nilai-nilai ajaran agama tersebut terasa “menjauh” dan secara esensial masih belum membumi bagi sebagian kalangan tertentu dalam praktik kehidupan seharí-harinya.

2.1.1.2 Kependudukan

Secara parsial, konteks pembangunan sosial budaya sebagai manifestasi untuk mewujudkan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dapat dicerminkan melalui pencapaian-pencapaian kinerja pada aspek pendidikan, kesehatan, serta kemampu-an mengakses kebutuhan agar dapat hidup layak. Aspek lain yang termasuk di dalamnya adalah masalah kependudukan, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, kesejahteraan sosial dan kemiskinan, dan pemuda dan olahraga.

Berkaitan erat dengan aspek-aspek tersebut itu adalah perlunya diambil langkah-langkah yang strategis dalam mengen-dalikan laju pertumbuhan penduduk. Pada tahun 2006 jumlah penduduk Kota Magelang tercatat sebanyak 119.904 jiwa dengan komposisi yang terdiri dari 48,15 persen laki-laki dan 51,85 persen perempuan. Laju pertumbuhan penduduk per ta-hunnya rata-rata sebesar 0,77 %. Tingkat kepadatan penduduk sebesar 6.548 jiwa/km2, dengan kepadatan tertinggi di Ke-lurahan Cacaban 14,514 jiwa dan terendah di Kelurahan Jurangombo 2.576 jiwa. Dari jumlah penduduk Kabupaten/Kota se eks Karesidenan Kedu, Kota Magelang menempati porsi jumlah penduduk yang terkecil yakni 2,48%. Sedangkan partisipasi penduduk dalam Keluarga Berencana ditunjukkan dengan adanya 13.667 akseptor aktif dari Pasangan Usia Subur (PUS). Fasilitas suntik menjadi pilihan yang dominan yaitu sebanyak 5.695 akseptor yang disusul dengan penggunaan IUD dan PIL, masing-masing sejumlah 2.399 dan 2.333 akseptor.

Pada sisi lain, adanya perkembangan jumlah penduduk memberi konsekuensi pada peningkatan kualitas pelayanan admin-istrasi kependudukan sesuai dengan Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pela-yanan publik mencakup beberapa aspek yaitu Sistem Administrasi Kependudukan, Sumber Daya Manusia (SDM), Sarana Prasarana yang memadai. Di sisi lain penyediaan layanan administrasi kependudukan, seperti KTP, KK, Akta Kelahiran, dan sebagainya.

2.1.1.3 Indeks Pembangunan Manusia

Pembangunan kualitas kehidupan masyarakat dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan menempatkannya sebagai subyek sekaligus obyek pembangunan. Dalam kurun satu dekade ini, kualitas sumber daya manusia di Kota Magelang semakin meningkat sebagaimana ditandai dengan perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang cenderung meningkat sejak tahun 1999-2006. Angka IPM pada tahun 2004 sebesar 73,35 menempati peringkat ke 4 dari Kota/Kabupaten se-Provinsi Jawa Tengah dan meningkat menjadi peringkat ke 3 pada tahun 2005 dengan skor sebesar 74,70.

Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2006 adalah 75,50 atau meningkat 0,57 point dari nilai yang diperkirakan pada tahun 2006 sebesar 74,93. Angka tersebut merupakan komposit dari:

  1. Angka harapan hidup saat lahir sebesar 69,70 sehingga Indeks Harapan hidup (IHH) menjadi 74,49
  2. Persentase Melek huruf usia 15 tahun ke atas sebesar 97,10% yang didukung dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) mulai dari pendidikan tingkat dasar, menengah, dan atas yang selalu diatas 100%.
  3. Indeks Hidup Layak yang menggunakan indikator pendapatan perkapita yang disesuaikan sebagai cerminan kemampuan daya beli.

2.1.1.4 Kesehatan

Sebagai salah satu penentu indeks pembangunan manusia, kualitas kesehatan antara lain ditentukan oleh derajat kesehatan, perilaku sehat, kesehatan lingkungan, dan pelayanan kesehatan. Derajat kesehatan ibu dan anak selalu mendapat perhatian karena masih adanya kasus-kasus seperti:

  1. Kematian bayi, kematian ibu melahirkan dan kematian balita.
  2. Berat bayi yang lahir dengan berat badan rendah.
  3. Penderita kurang energi protein (KEP) dan status balita dengan gizi buruk.

Upaya pelayanan kesehatan masyarakat antara lain dilaksanakan melalui RSU, Puskesmas, Poliklinik, RS Bersalin, Posyan-du, dan fasilitas prasarana kesehatan lainnya. Selain itu secara berkala juga dilakukan pemeriksanaan kualitas lingkungan di permukiman, penerapan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), pelayanan Asuransi Kesehatan (Askes) termasuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin melalui Askeskin, dan sebagainya.

2.1.1.5 Pendidikan

Sementara itu, kebijakan pengelolaan pendidikan mengalami pergeseran dari kurikulum 1994 menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi serta penerapan Manajemen Berbasis Sekolah dengan mengacu kepada Standar Pendidikan Nasional (sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005). Dalam implementasinya diharapkan siswa akan memiliki kemampuan kompetensi tertentu dan sekolah akan dikelola secara profesional. Apabila dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lain di Ja-wa Tengah, pembangunan pendidikan di Kota Magelang dapat dikatakan lebih berhasil karena persentase melek hurufnya pada tahun 1999-2006 selalu meningkat berkisar antara 93-97%. Di akhir tahun 2006, pemberantasan buta huruf di Kota Magelang dinyatakan tuntas. Nilai APK Kota Magelang yang melebihi 100% disamping karena kesadaran belajar dari masyarakat Kota Magelang sudah tinggi juga karena banyaknya siswa sekolah yang berasal dari luar Kota Magelang.

2.1.1.6 Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat, kebijakan pemberdayaan masyarakat diarahkan untuk menciptakan iklim kehidupan yang layak dan kondusif melalui pembangunan ketahanan masyarakat dan penanggulangan degradasi moral masyarakat dalam upaya meningkatkan partisipasinya di bidang ekonomi dan sosial dari tingkat kota sampai kelurahan termasuk memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di berbagai kehidupan. Pola pemberdayaan yang ditempuh selama ini mencakup antara lain: (a) Meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM) baik aparat pemerintah maupun masyarakat untuk melaksanakan: perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pemberdayaan masyarakat secara lebih optimal, dan (b) Meningkatkan fungsi lembaga–lembaga kemasyarakatan (LPM, LKK, termasuk RT/RW) di tingkat kelurahan sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan dengan mengurangi berbagai bentuk pengaturan yang menghambat masyarakat untuk berperan aktif dalam proses pembangunan. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan diantaranya, (1) Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat, yang diharapkan dapat menggerakkan dan memperkuat ikatan kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam kehidupan bermasyarakat melalui kegiatan fisik dan non fisik, serta menstimulasi tumbuh kembangnya swadaya masyarakat; (2) Pemberian Modal melalui Lembaga Keuangan Kelurahan (LKK); (3) P2MBG, merupakan upaya affirmative action untuk mempercepat proses pengarusutamaan gender di berbagai bidang pembangunan sebagaimana diamanatkan oleh Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender; (4) Pemasyarakatan dan Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna (TTG) diharapkan akan dapat meningkatkan kemampuan dan ketrampilan masyarakat sekaligus dapat dijadikan wahana untuk memperoleh peluang usaha; dan (5) TNI Manunggal Masuk Desa, diharapkan hasil pembangunan fisik dan non fisiknya dapat menunjang serta melengkapi fasilitas infrastuktur sarana prasarana penduduk.

Pemberdayaan perempuan dan anak dilaksanakan dengan maksud untuk menciptakan kemandirian sehingga mau dan mampu berperan serta dalam pembangunan. Secara legal formal, salah satu langkah yang telah ditempuh adalah dengan menerbitkan Keputusan Walikota Magelang Nomor 411.1/14/112 Tanggal 12 Mei 2006 tentang Pembentukan Pembentukan Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak. Komisi ini memfasilitasi perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan program/kegiatan pembangunan melalui strategi pengarus utamaan gender dalam rangka mewujudkan kebijakan dan program pembangunan yang responsif gender. Ditambah lagi organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti Gabungan Organisasi Wanita (GOW), Dharma Wanita, Persit, Lembaga Swadaya Masyarakat - Women Crisis Center (LSM - WCC) ”Cahaya Melati”, termasuk PKK, dan ormas/LSM lainnya yang memfokuskan kepada kemajuan perempuan sangat mendukung lewat partisipasi aktifnya dalam memperjuangkan kaum perempuan serta upaya perlindungan anak.

2.1.1.7 Kesejahteraan Sosial

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) masih cukup tinggi, yaitu 11,99% dari keseluruhan jumlah penduduk Kota Magelang. Secara lintas sektor, kesejahteraan sosial para PMKS telah tertangani dengan berbagai upaya pemberdayaan, pelayanan, rehabilitasi, dan perlindungan sosial, namun dukungan dan peran stake holder masih sangat diperlukan untuk menanganinya secara profesional dan berkesinambungan.

Di sisi lain, laju kemiskinan di Kota Magelang cenderung meningkat, data tahun 2006 menunjukkan jumlah penduduk miskin mencapai 8.982 KK (31.607 jiwa) atau 27,96 persen, mengalami peningkatan sebesar 5,94 persen dibanding tahun 2005 yang berjumlah 7.120 KK (26.260 jiwa) atau 22,02 persen dari total penduduk Kota Magelang. Eskalasi itu dimulai sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997, yang menjurus pada krisis multidimensional, hingga adanya dampak kenaikan BBM, Oktober 2005 yang mengakibatkan daya beli masyarakat merosot, banyak usaha sektor riil mengalami kemunduran atau tidak berjalan normal, sehingga daya serap kerjanya mengalami penurunan. Ini semua mengakibatkan tingkat kesejahteraan dan kualitas taraf hidup masyarakat menurun.

Dalam rangka penanggulangan kemiskinan, disamping sudah dilaksanakan berbagai program pemberantasan kemiskinan oleh SKPD terkait, juga telah dibentuk Komite Penangulangan Kemiskinan (KPK) atau yang sekarang menjadi Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) sebagai lembaga yang mengelola pelaksanaan penanggulangan kemiskinan di Kota Magelang secara terarah, terencana, terpadu, komprehensif, dan berkelanjutan dengan menggunakan data base yang sama dalam menentukan sasaran penerima manfaat. Namun demikian, secara umum, dalam implementasi di lapangan masih ditemui beberapa kendala antara lain: (1) masih lemahnya koordinasi dalam hal: pendataan, pendanaan, dan kelembagaan; (2) masih lemahnya koordinasi antar program penanggulangan kemiskinan antara pemerintah pusat dan daerah, lemahnya integrasi program pada tahap perencanaan, lemahnya sinkronisasi program pada tahap pelaksanaan, lemahnya sinergi antar pelaku (pemerintah, dunia usaha, masyarakat madani) dalam penyelenggaraan keseluruhan upaya penanggulangan kemiskinan; dan (3) masih belum optimalnya kelembagaan di pemerintah, dunia usaha, LSM dan masyarakat madani dalam bermitra dan bekerjasama dalam penanggulangan kemiskinan serta penciptaan lapangan kerja.

2.1.1.8 Pemuda dan Olah Raga

Pada ranah pembangunan sosial budaya juga tidak dapat dikesampingkan perlunya peningkatan peran serta pemuda melalui penyelenggaraan pembangunan bidang pemuda dan olahraga secara lebih terpadu dan sinergis. Pemberian fasilitasi terhadap organisasi kepemudaan dan juga peningkatan kapasitas dan kualitas, pembinaan, serta penyediaan sarana dan prasarana di bidang kewirausahaan, pengembangan ketrampilan dan bakat, seni dan budaya, termasuk pembinaan olahraga selama ini telah terselenggara sesuai dengan jalur tugas pokok dan fungsi dari masing-masing SKPD atau lembaga yang mengampu bidang ini (seperti KONI beserta pengurus cabangnya). Meskipun selama ini sudah berjalan cukup baik, namun dalam proyeksi ke depannya masih perlu dioptimalkan lagi terutama dalam pengembangan dan tindak lanjut terhadap berbagai program penguatan dan pembinaan kepemudaan dan olahraga. Peningkatan kapasitas, etos kerja, dan profesionalisme pemuda telah difasilitasi pemerintah melalui pembentukan organisasi-organisasi kepemudaan, Ormas, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang diharapkan dapat sinergis untuk dipromosikan sebagai partner pemerintah dalam memajukan kesejahteraan umum. Selain itu, melalui beberapa pelatihan ketrampilan dan kewirausahaan; pembinaan; dan pemberian modal usaha bagi pengembangan serta peningkatan kualitas sumber daya manusia pemuda selama ini telah dijalankan oleh pemerintah lewat program-program pemberdayaan masyarakat dengan sasaran kelompok usia kerja, khususnya terhadap para pemuda. Terkait dengan pembinaan kepemudaan, pengembangan olahraga baik olahraga prestasi maupun rekreasi perlu semakin digalakkan melalui pembinaan sedini mungkin yang dilaksanakan secara berjenjang, dan berkelanjutan. Prestasi olahraga yang berhasil dicapai atlet-atlet daerah baik di tingkat regional, nasional maupun internasional sudah pasti akan memberi dampak positif bagi terangkatnya nama baik dan prestise daerah. Oleh karena itu, ke depannya, porsi pembinaan pemuda dan olahraga harus semakin ditingkatkan sejak dari perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi dalam suatu wahana yang lebih komprehensif dan integral dengan pelibatan peran aktif dari seluruh pemangku kepentingan.

2.1.2 Ekonomi

2.1.2.1 Kondisi Makro Ekonomi

Perkembangan ekonomi makro Kota Magelang dalam kurun waktu 2001-2005 telah menunjukkan kinerja yang membaik, antara lain ditunjukkan dengan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi dari sebesar 3,44 % pada tahun 2001 menjadi 4,33 % pada tahun 2005 atau lebih tinggi 0,89%. Membaiknya perekonomian Kota Magelang tahun 2005 juga ditunjukkan dengan meningkatnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan mencapai Rp. 878.158.350.000,- sedangkan tahun 2001 baru mencapai Rp. 759.474.480.000,- yang berarti terjadi peningkatan yang cukup signifikan. Struktur PDRB tahun 2005 didominasi oleh sektor jasa (38,2%), sektor pengangkutan dan komunikasi (19,19%) serta sektor bangunan (15,33%). Lima sektor lainnya hanya berperan di bawah 30% dengan rata-rata sekitar 6% yaitu sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (10,93%), sektor perdagangan, hotel dan rumah makan (7,11%), sektor industri pengolahan (3,37%), sektor pertanian (3,17%), sektor listrik dan air (2,70%). Dibandingkan dengan tahun sebelumnya peran kelima sektor tersebut secara total pada tahun 2005 lebih tinggi.

Sementara itu tingkat inflasi tahun 2005 lebih tinggi beberapa digit dari tahun sebelumnya yaitu dari 5,28% di tahun 2004 menjadi 14,84%. Namun tingkat inflasi ini secara umum masih cukup rendah dibandingkan dengan kondisi inflasi regional (15,97%) maupun nasional (16,16%). Kondisi Perekonomian Kota Magelang tidak terlepas dari pengaruh kondisi perekonomian tingkat atasnya dan global.

2.1.2.2 Kondisi Mikro Ekonomi

Pengembangan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) memiliki potensi yang besar dan strategis dalam meningkatkan aktivitas ekonomi daerah, termasuk dalam penyerapan tenaga kerja daerah. Jumlah koperasi di Kota Magelang sampai dengan tahun 2005 berjumlah 191 buah yang berarti ada peningkatan sebesar 10 buah dari tahun 2002 yang berjumlah 181 buah, dengan anggota 27.819 orang dan tenaga kerja 402 orang. Besar modal dan volume usaha koperasi meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 modal koperasi Rp. 29.792.989.000,- meningkat menjadi Rp. 45.275.506.000,- di tahun 2005 dan volume usaha di tahun 2002 sebesar Rp.39.648.961.000,- di tahun 2005 menjadi Rp.78.579.207.000,-.

Jumlah perusahaan industri kecil mengalami kenaikan 23 buah ditahun 2005, industri sedang naik 1 buah sedangkan industri besar tetap. Banyaknya surat ijin usaha perdagangan yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan ada kenaikan dari 330 di tahun 2004 menjadi 362 ditahun 2005 sehingga ada kenaikan 32 SIUP. Kinerja ekspor dan impor ada kecenderungan semakin meningkat. Hal ini tercermin dari nilai ekspor impor yang meningkat dari US$ 3.788.113,51 di tahun 2004 menjadi US$ 4.205.135,05 di tahun 2005.

Jumlah sentra perusahaan industri kecil meningkat cukup baik dari 305 buah di tahun 2002 menjadi 329 di tahun 2005 dengan jumlah sentra 10 yang terdiri dari sentra parut besi/kompor, sentra sepatu/sandal, sentra konveksi, sentra mainan anak, sentra tahu di kelurahan Tidar dan Kelurahan Magersari, sentra tempe, sentra krupuk iris, sentra roti/kue dan sentra getuk. Tenaga kerja yang dapat diserap dari usaha ini juga meningkat dari 1.114 orang di tahun 2002 menjadi 1.181 orang di tahun 2005 dan jumlah investasi di tahun 2005 sebesar Rp.3.091.819.000,-

Pengembangan potensi Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah tersebut masih menghadapi berbagai permasalahan dan kendala, diantaranya adalah (1) panjangnya proses perijinan; (2) praktik usaha dan persaingan usaha yang tidak sehat; (3) lemahnya koordinasi lintas instansi dalam pemberdayaan Koperasi dan UMKM; (4) masih lemahnya kelembagaan UMKM. Permasalahan pokok lainnya yakni masih rendahnya produktivitas yang berakibat terjadinya kesenjangan antar pelaku Koperasi dan UMKM. Hal ini berkaitan dengan masih rendahnya kualitas SDM UMKM khususnya dalam bidang manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, pemasaran, serta rendahnya kompetensi kewirausahaan UMKM. Kondisi yang demikian melemahkan kesiapan bersaing dan daya adaptasi dalam menghadapi persaingan di kancah perdagangan bebas dan global. Koperasi dan UMKM juga masih menghadapi masalah keterbatasan akses ke modal, sehingga menyulitkan dalam usahanya untuk meningkatkan kapasitas usaha ataupun pengembangan produk-produk yang memiliki nilai tambah dan daya saing yang tinggi.

2.1.2.3 Ketenagakerjaan

Tingkat pengangguran relatif masih tinggi dengan jumlah pencari kerja meningkat cukup signifikan dari tahun 2003 berjumlah 1.929 orang menjadi 2.456 orang di tahun 2005 sementara yang ditempatkan di tahun 2003 berjumlah 521 orang dan tahun 2005 baru ditempatkan 550 orang.

Penyerapan tenaga kerja di sektor industri didominasi oleh industri kecil, dimana mampu menyerap tenaga kerja berjumlah 5.684 sedangkan industri sedang menggunakan 1.057 tenaga kerja dan industri besar hanya 760 tenaga kerja. Masih relatif tingginya tingkat pengangguran terbuka berpotensi menimbulkan berbagai kerawanan sosial. Meskipun berbagai indikator ekonomi telah menunjukkan perbaikan dalam beberapa tahun terakhir ini, namun demikian dalam realitanya belum mampu menyerap tambahan angkatan kerja yang masuk ke dalam pasar kerja. Ini antara lain disebabkan pergerakan sektor riil sebagai katup pengaman dalam memenuhi kebutuhan lapangan kerja belum optimal dan tidak seimbang dengan tingkat kebutuhan permintaan lapangan kerja. Selain itu, tingkat pengetahuan, kapasitas, dan ketrampilan dari para pencari kerja masih sangat perlu ditingkatkan untuk disesuaikan dengan kualifikasi yang dipersyaratkan dalam memasuki dunia usaha.

2.1.2.4 Investasi

Sektor industri bukan sektor dominan dalam memberikan kontribusi terhadap PDRB di Kota Magelang, namun sektor tersebut paling sensitif dalam merespon pertumbuhan investasi. Potensi sektor kegiatan industri di Kota Magelang masih didominasi oleh sektor industri kecil. Dari data perkembangan industri diperoleh informasi bahwa jumlah unit usaha tahun 2003 bertambah 10 usaha, tahun 2004 bertambah 17 usaha dan tahun 2005 bertambah 23 usaha. Sedangkan pada industri sedang ada penambahan usaha di tahun 2004 bertambah 5 usaha, dan industri besar bertambah 5 usaha di tahun 2004.

Selanjutnya di bidang investasi daerah, masih dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan upaya penciptaan iklim penanaman modal yang sehat. Beberapa di antaranya adalah: (1) Kondisi sosial ekonomi masyarakat Kota Magelang yang belum bisa menjadi magnet kalangan investor untuk menanamkan modalnya di Kota Magelang; (2) Masih dijumpainya tumpang tindih koordinasi antar instansi terkait penanganan kegiatan investasi; (3) Masih belum memadainya kapasitas dan kualitas infrastruktur dalam mendukung investasi daerah.

2.1.2.5 Stabilitas Perekonomian

Keberhasilan pembangunan bidang ekonomi, antara lain ditandai dengan semakin mantapnya stabilitas perekonomian Kota Magelang dalam kurun waktu 6 (enam) tahun terakhir. Selama periode 2000-2006 perekonomian Kota Magelang terus menunjukkan trend peningkatan, meskipun pada tahun 2003 berdasarkan harga konstan sedikit mengalami penurunan hing-ga mencapai angka 2,7% atau turun 1,21% dari tahun sebelumnya, yang disebabkan oleh melemahnya laju pertumbuhan beberapa lapangan usaha, namun kondisi ekonomi tahun 2004 hingga akhir tahun 2005 menunjukkan kecenderungan makin membaik dan terkendali. Ini ditunjukkan oleh trend membaiknya berbagai indikator ekonomi, seperti tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dollar, suku bunga SBI.

Perbandingan pertumbuhan masing-masing sektor antara tahun 2004 dengan 2005 adalah sebagai berikut: sektor pertanian semula 5,30% turun menjadi 4,87%; industri pengolahan sebesar -4,52% mengalami kenaikan hingga kisaran 3,12%; Selanjutnya sektor listrik dan air semula sebesar 3,65% mengalami kenaikan menjadi 8,17%; perdagangan, hotel dan rumah makan yang telah tumbuh sebesar 7,89% mengalami penurunan menjadi hanya 7,50%; pengangkutan dan komunikasi sebesar 3,92% naik menjadi 5,19%. Pada sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan mengalami kenaikan dari 4,48% menjadi 6,64%, begitupun jasa-jasa yang semula tumbuh sebesar 3,20% juga naik menjadi 5,19%. Di sisi lain sektor bangunan mengalami penurunan hingga mencapai -2,0% dibanding tahun sebelumnya 4,02%.

2.1.3 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

2.1.3.1 Penelitian dan Pengembangan

Penelitian dan pengembangan merupakan bagian penting dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selama ini sudah dilaksanakan berbagai macam penelitian dan pengembangan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, perguruan tinggi, masyarakat maupun institusi lainnya. Namun demikian berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut belum terintegrasikan ke dalam suatu jaringan penelitian dan pengembangan yang efektif sehingga masih terjadi duplikasi kegiatan penelitian yang serupa. Di samping itu penelitian belum sepenuhnya menjawab kebutuhan riil masyarakat dan belum mendukung penyelenggaraan pemerintahan. Hasil karya ilmiah dan temuan di bidang teknologi selama ini terhenti pada tataran konsep atau prototipe yang terbatas, sehingga kurang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat.

Pemerintah Kota Magelang mempunyai komitmen kuat bagi peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa sebagian besar masyarakat belum memiliki budaya iptek yang tinggi. Upaya membudayakan iptek terus dilakukan, mulai dari sosialisasi, seminar, penjaringan sampai dengan pameran hasil temuan kreativitas dan inovasi masyarakat. Berdasarkan inventarisasi melalui kegiatan Penyelengaraan dan Penjaringan Kreativitas dan Inovasi Masyarakat (Krenova) yang dilaksanakan Pemerintah Kota Magelang, jumlah temuan kreativitas dan inovasi masyarakat menunjukkan trend peningkatan. Pada tahun 2007 jumlah temuan yang mengikuti penjaringan kreativitas dan inovasi masyarakat (Krenova) sebanyak 13 temuan, meningkat dibandingkan tahun 2004 sebanyak 9 temuan. Pada penyelenggaraan kreativitas dan ino-vasi masyarakat (Krenova) tingkat Provinsi Jawa Tengah, temuan masyarakat Kota Magelang berhasil menduduki peringkat 10 (sepuluh) besar di Tingkat Provinsi Jawa Tengah dan mendapatkan penghargaan dari Gubernur Jawa Tengah selama 3 tahun berturut-turut, dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2007.

2.1.3.2 Teknologi Informasi

Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) mengalami perkembangan yang sangat pesat, termasuk di antaranya di bidang informasi dan komunikasi. Kemajuan teknologi memberi kontribusi signifikan terhadap terjadinya perubahan dan kemajuan di dunia modern. Dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi begitu cepat berkembang dan menyebar nyaris tanpa batas. Ilmu pengetahuan dan teknologi cepat menyebar, ditirukan dan dimanfaatkan di seluruh penjuru dunia, suatu langkah menuju efektivitas dan efisiensi yang tinggi.

Keluasan dan ketinggian keilmuan ditunjukkan dengan daya respons yang cepat dan kemampuan dalam menyerap informasi dan melakukan komunikasi timbal balik dari apa yang tidak diketahui menjadi diketahui. Berbekal itu selanjutnya dikembangkanlah berbagai bentuk dan macam penerapan, uji coba (kreasi) dan inovasi, hingga menemukan sesuatu yang baru. Hasil temuan itu selanjutnya akan berguna apabila ada proses difusi, penyebaran informasi dan pemanfaatan yang lebih luas. Dalam realitasnya kesadaran akan proses tersebut, baru dimiliki sebagian kecil masyarakat Kota Magelang. Terlihat dari kemauan dan kemampuan mengakses internet, mempergunakan e-mail, TV Edukasi dan lain sebagainya untuk keperluan yang lebih maju dan efisien. Yang terjadi saat ini sistem manual dan tradisional masih menjadi tradisi, tumpukan berkas dokumen menghabiskan ruang dan biaya.

Media informasi dan komunikasi yang dimiliki pemerintah, dari bentuk majalah ”Dinamika” hingga website ”Pemerintah Kota Magelang”, ”Desa Buku” dan lain-lainnya dirasa masih belum cukup memenuhi kebutuhan akan informasi dan komunikasi sebagian masyarakat Kota Magelang. Di sisi lain, sebaliknya, masyarakat pada umumnya belum begitu akrab, melihat, mengetahui dan memanfaatkan kemajuan fasilitas hasil rekayasa teknologi tersebut, yang salah satunya disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dan diseminasi, serta kampanye akan arti pentingnya budaya iptek maupun pemanfaatan teknologi informasi.

2.1.4 Sarana dan Prasarana

Pembangunan sarana dan prasarana perkotaan di Kota Magelang direncanakan untuk mendukung terwujudnya visi kota, yang pada dasarnya menjadikan Kota Magelang sebagai kota jasa, dengan penekanan pada jasa perekonomian, pendidikan, dan kesehatan. Sarana prasarana perkotaan pada dasarnya merupakan elemen pendukung bagi berlangsungnya kehidupan suatu kota, karena masyarakat yang tinggal di suatu kota membutuhkan kehadiran sarana prasarana untuk melangsungkan kegiatan.

Sarana prasarana perkotaan merupakan aspek yang sangat penting dalam mengelola kawasan perkotaan. Ketersediaan sarana dan prasarana perkotaan sangat menentukan dalam pengembangan suatu kota. Sarana perkotaan meliputi sarana pendidikan, kesehatan, permukiman, perdagangan, sarana perhubungan darat, serta sarana rekreasi dan olah raga. Prasarana perkotaan meliputi prasarana permukiman; prasarana perhubungan; prasarana jaringan, yang terdiri dari jaringan drainase perkotaan, jaringan irigasi, serta jaringan utilitas lainnya; serta prasarana persampahan.

Dilihat dari segi aksesibilias, kualitas maupun cakupan pelayanannya, kondisi sarana dan prasarana perkotaan di Kota Magelang saat ini sudah cukup baik dan tersebar secara merata di wilayah Kota Magelang. Sarana dan Prasarana dimaksud adalah:

1. Pendidikan
Sarana dan prasarana pendidikan yang telah tersedia di Kota Magelang mulai dari jenjang Taman Kanak-Kanak hingga jenjang Pendidikan Tinggi baik negeri maupun swasta adalah sebagai berikut:

NO JENJANG PENDIDIKAN JUMLAH
1 Taman Kanak-Kanak 70
2 Sekolah Dasar 76
3 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 21
4 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas 31
5 Sekolah Menengah Kejuruan 19
6 Sekolah Luar Biasa 2
7 Pendidikan Tinggi (Universitas dan Akademi) 6

Setiap jenjang pendidikan telah pula menyediakan prasarana yang cukup berkualitas dengan kuantitas yang memadai guna memperlancar proses belajar mengajar dan meningkatkan kualitas keilmuan peserta didik. Prasarana tersebut mencakup peralatan laboratorium, alat peraga, sarana prasarana Olah Raga dan Kesenian, termasuk pula peralatan audio visual yang dapat menciptakan suasana belajar lebih menyenangkan dengan harapan bahwa kaidah ilmu yang dipelajari akan lebih mudah dipahami.

Sarana pendidikan yang tersedia tersebut bahkan mampu menjadi tujuan masyarakat wilayah sekitar Kota Magelang untuk memperoleh pendidikan. Hal inilah yang mendorong nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) Kota Magelang melebihi 100%.

2. Kesehatan
Sebagaimana sarana prasarana pendidikan, sarana kesehatan juga telah tersebar merata di seluruh wilayah Kota Magelang dan juga Meskipun hanya PUSKESMAS Pembantu, sarana kesehatan tersebut telah mampu membantu masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan tingkat pertama.

Secara keseluruhan, jumlah sarana kesehatan baik milik pemerintah, swasta, maupun perorangan di Kota Magelang adalah sebagai berikut:

No Jenis Jumlah
1 Rumah Sakit Umum 5
2 Rumah Sakit Jiwa 2
3 Rumah Sakit Paru-Paru 1
4 Rumah Sakit Bersalin 2
5 PUSKESMAS 5
6 PUSKESMAS Pembantu 11
7 Dokter 140
8 Bidan dan Perawat 918
9 Unit Transfusi Darah - PMI 1

Sarana kesehatan di Kota Magelang telah mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat sekitar bahkan telah menjadi Rumah Sakit rujukan untuk wilayah Kedu. Sarana yang tersedia didukung dengan prasarana yang memadai dan berkualitas seperti fasilitas EKG dan Hemodialisa yang didukung pula dengan peningkatan kualitas sumber daya manusianya.

3. Permukiman
Dari pemanfaatan lahan di Kota Magelang, sebagian besar lahan yang tersedia, yaitu diatas 72% dari keseluruhan wilayah Kota merupakan areal terbangun yang sebagian besar diantaranya mewadahi kegiatan permukiman penduduk. Kondisi tersebut menuntut penyediaan sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung kelangsungan kegiatan permukiman.

Sarana permukiman dimaksudkan sebagai berbagai fasilitas yang ada dan dibutuhkan untuk mendukung berlangsungnya kegiatan permukiman. Dibandingkan dengan jumlah penduduk Kota Magelang tahun 2006, maka ketersediaan sarana permukiman sudah memenuhi. Permasalahan yang muncul adalah perlunya pemeliharaan terhadap sarana permukiman yang ada sehingga memperpanjang usia pakai sarana tersebut.

Untuk prasarana permukiman perkotaan, kondisi saat ini yang dijumpai adalah masih perlunya peningkatan kualitas prasarana dasar permukiman perkotaan, yang meliputi prasarana jalan lingkungan, prasarana drainase lingkungan, prasarana air bersih lingkungan, serta prasarana sanitasi lingkungan. Dalam penyediaannya, tidak terlepas dari karakteristik kawasan permukiman yang ada, yaitu kawasan permukiman padat di pusat-pusat perekonomian kota, kawasan permukiman di perbatasan dan kawasan permukiman baru.

Prasarana jaringan drainase kota terutama dirancang untuk mengatasi genangan pada saat musim hujan. Namun demikian kondisi saat ini masih terdapat genangan di beberapa lokasi di Kota Magelang. Permasalahan yang harus segera diantisipasi adalah dengan menyusun master plan drainase kota, yang akan dijadikan sebagai rencana induk bagi penanganan drainase kota. Kondisi topografi Kota Magelang yang berkontur merupakan kondisi fisik alam yang memudahkan pengatasan drainase kota. Hal itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin dalam mengatasi genangan, sehingga pada masa yang akan datang diharapkan tidak terdapat lagi genangan di beberapa lokasi.

Prasarana jaringan lain, yaitu air bersih, jaringan listrik dan telepon, persebarannya sudah menjangkau seluruh kelurahan yang ada, meskipun masih memerlukan peningkatan kualitas pelayanan dalam rangka mencapai kepuasan masyarakat.

4. Perdagangan
Sarana perdagangan merupakan sarana perekonomian yang sangat mempengaruhi kehidupan kota dan tingkat ekonomi masyarakatnya. Posisi strategis Kota menjadi tujuan masyarakat wilayah sekitar untuk mendistribusikan hasil bumi dan potensi lainnya serta menjadi tujuan untuk memperoleh kebutuhan baik primer, sekunder, maupun tersiernya. Peluang demikian ditangkap dengan penyediaan sarana prasarana perdagangan baik tradisional maupun modern.

Pasar Tradisional sebagai sarana perdagangan terdiri dari Pasar Rejowinangun, Pasar Gotong Royong, Pasar Kebonpolo, dan Pasar Cacaban. Dari keempat pasar tersebut yang paling dominan adalah keberadaan Pasar Rejowinangun, karena merupakan pasar skala regional yang memfasilitasi kegiatan transaksi antara pedagang dan pembeli yang juga berasal dari wilayah sekitar.

Sarana perdagangan modern saat ini sudah berdiri beberapa supermarket dan mini market, yaitu Matahari Department Store, Gardena Pasar Raya dan Swalayan, Trio Plaza dan Hero. Sedangkan keberadaan minimarket telah tersebar dan cenderung meningkat pada beberapa lokasi yang mudah dijangkau oleh penduduk.

5. Perhubungan
Prasarana perhubungan darat yang ada di Kota Magelang menempati posisi yang sangat strategis dalam mendukung skenario pengembangan kota, yaitu penyebaran keramaian di seluruh sudut kota. Pada saat ini persebaran prasarana perhubungan darat masih terkonsentrasi pada kawasan pusat kota dan pusat pertumbuhan ekonomi kota. Sedangkan upaya peningkatan prasarana perhubungan darat pada kawasan perbatasan sudah mulai dirintis sejak tahun 2001, yang telah berdampak pada tercapainya keseimbangan pertumbuhan ekonomi pada kawasan perbatasan.

Kondisi aspek sarana perhubungan pada saat ini dapat dicerminkan dari keberadaan sarana transportasi yang terdiri dari terminal dan sarana angkutan publik. Untuk sarana terminal keberadaan terminal Tidar yang berlokasi di Jalan Soekarno-Hatta merupakan sarana tempat perpindahan moda angkutan dari luar kota ke angkutan dalam kota atau dari luar kota ke angkutan perdesaan. Pelayanan yang diberikan dari terminal tersebut adalah untuk angkutan publik antar kota dengan tujuan utama adalah Kota Semarang, Jogjakarta, Purwokerto, sedangkan kota-kota lain yang menjadi tujuan adalah Purworejo, Salaman, Salatiga, Wonosobo, Temanggung, Parakan. Kota-kota diluar Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang menjadi tujuan adalah Jakarta, Surabaya, Bandung, Bogor, Denpasar, serta beberapa kota di Pulau Sumatra. Jangkauan pelayanannya selain mencakup warga Kota Magelang juga warga dari Wilayah sekitar.

Selain terminal Tidar yang merupakan terminal induk Kota Magelang, sarana perhubungan darat yang lain adalah sub terminal. Saat ini terdapat 2 (dua) sub terminal yaitu sub terminal Kebonpolo dan sub terminal Rejomulyo. Meski demikian, selain kedua sub terminal tersebut, juga terdapat beberapa tempat yang dimanfaatkan sebagai pergantian moda angkutan, baik antar jalur dalam kota, maupun antara angkutan perdesaan dan angkutan perkotaan. Tempat-tempat itu adalah di kawasan Canguk, Shopping Center, Jalan Alibasah Sentotprawirodirjo, Jalan Sudirman, dan Sambung.

Keberadaan “sub terminal” di luar dua sub terminal tersebut memunculkan permasalahan tentang kepentingan perencanaan ulang sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat dalam manajemen / pengelolaan transportasi perkotaan. Pada kurun waktu 20 tahun yang akan datang sub terminal yang harus dibangun adalah sub terminal di lokasi Jalan Alibasah Sentotprawirodirjo dan di lokasi Kawasan Canguk. Kedua sub terminal tersebut direncanakan memfasilitasi perpindahan moda angkutan umum dari daerah Bandongan dan Tegalrejo. Sedangkan perpindahan moda angkutan di lokasi Shopping Center dapat dirancang bersamaan dengan peningkatan fasilitas perdagangan di lokasi tersebut. Untuk sub terminal Kebonpolo dapat direncanakan secara terpadu apabila di kawasan itu dibangun fasilitas perdagangan modern.

6. Rekreasi dan Olah Raga
Pada aspek sarana rekreasi dan olah raga kota, kondisi saat ini yang mendesak untuk segera ditangani adalah persebaran sarana rekreasi publik, yaitu taman-taman kota yang bersifat taman rekreasi publik, dimana keberadaan sarana rekreasi publik masih terpusat pada Taman Badaan dan Ruang Terbuka di Alun-Alun Kota Magelang. Sisi utara dan selatan kota harus dilengkapi dengan sarana rekreasi publik, sehingga masyarakat Kota Magelang dapat menikmati waktu luang di taman tersebut. Di sisi utara lokasi pembuatan sarana rekreasi publik yang masih memungkinkan adalah pada Kawasan GOR Samapta dan Kawasan Sidotopo. Sedangkan untuk sarana olah raga bagi cabang olah raga bulu tangkis, masyarakat Kota Magelang pada umumnya menggunakan gedung balai kelurahan dan balai kecamatan, sehingga persebarannya sudah merata. Untuk tenis lapangan persebarannya sudah cukup merata. Sarana olah raga yang perlu mendapatkan pemikiran adalah bola volley dan sepak bola, hal ini disebabkan oleh keterbatasan lahan terbuka yang masih tersisa di Kota Magelang.

Pada tahun 2006 telah dicanangkan pengembangan Kawasan GOR Samapta sebagai kawasan olah raga dan rekreasi dengan fasilitas olah raga yang akan dibangun meliputi kolam renang dan stadion madya. Selanjutnya, di tahun 2007 disusun Master Plan Kawasan yang ditindaklanjuti dengan penyusunan Rencana Teknis Pembangunan Kolam Renang dan Stadion Madya. Penyusunan rencana teknis tersebut sebagai persiapan untuk pembangunan fisik kawasan yang direncanakan akan dimulai tahun 2008. Dengan dibangunnnya beberapa sarana olah raga pada kawasan tersebut diharapkan akan menambah sarana olah raga di Kota Magelang dan juga akan mendukung terciptanya peran dan fungsi sebagai kota jasa.

2.1.5 Politik

2.1.5.1 Kehidupan Berpolitik 

Pemilihan umum Legislatif 2004 dan Pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah secara langsung tahun 2005 yang berjalan dengan demokratis, aman, dan adil telah berhasil membentuk lembaga suprastruktur politik daerah yang legitimate (DPRD dan Walikota/Wakil Walikota). Capaian politik ini merupakan modal penting sebagai pijakan dalam menopang dan memperkuat proses konsolidasi demokrasi di Kota Magelang. Terpeliharanya suasana yang sejuk dan kondusif selama ini memberi kontribusi bagi kesuksesan penyelenggaraan pesta demokrasi itu. Peran dan fungsi aparat keamanan, jajaran pemerintah, serta penyelenggara pemilu yang didukung oleh masyarakat luas telah berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Terjaganya netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) jajaran Pemerintah Kota Magelang terhadap politik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menjadi catatan tersendiri yang bermuatan positif bagi upaya peningkatan profesionalisme aparatur dalam bingkai pembangunan politik di daerah.

 Dalam realitasnya, pergerakan arus demokrasi yang ada dalam perspektif teori politik masih berproses sekadar memenuhi persyaratan demokrasi prosedural dan belum mengarah kepada terciptanya demokrasi substansial. Proses politik (formulasi dan pengambilan kebijakan publik) pada sistem politik yang telah terbangun masih cenderung berlangsung sebatas formalitas dan belum secara mendasar serta komprehensif mengikutsertakan peran serta para pemangku kepentingan (stakeholders), sehingga banyak kebijakan publik yang tidak atau kurang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Efeknya adalah muncul berbagai tuntutan eskalatif rakyat terhadap praktik penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik dan bersih di tingkat daerah. Penerapan mekanisme checks and balances yang adil serta kebebasan dalam melaksanakan hak-hak sipil dan politik warga menjadi isu politik yang hangat sejalan dengan semakin bergulirnya arus demokratisasi. Perkembangan visi dan misi partai politik ternyata belum sepenuhnya sejalan dengan perkembangan kesadaran dan dinamika kehidupan sosial politik masyarakat dan tuntutan demokratisasi. Orientasi yang lebih dominan kepada kepentingan diri, kelompok atau ideologi masing-masing dari para elite/aktor politik daripada kepentingan rakyat banyak sangat mewarnai atmosfer perpolitikan lokal yang tengah berlangsung. Apalagi ditambah perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang masih marak dalam praksis penyelenggaraan pemerintahan membawa dampak kepada teralienasi dan terdegradasinya derajat keterwakilan politik (representative) para wakil rakyat di mata konstituen/publik. Dalam perspektif etika politik, penyelewengan kekuasaaan yang terjadi merefleksikan masih rendahnya kesadaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, rasa nasionalisme, dan cinta tanah air dari para pelakunya.

Dalam konteks hubungan pusat-daerah, format desentralisasi dan otonomi daerah yang sudah dibangun berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah semakin mendorong kemandirian daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Akan tetapi dalam pelaksanaannya masih mengalami berbagai permasalahan, antara lain disebabkan kurangnya koordinasi pusat-daerah dan masih belum konsistennya sejumlah peraturan perundangan yang ada. Peran dan fungsi pemerintah daerah (sistem politik daerah pada umumnya) dalam upaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, sebagai esensi dan filosofi dasar dari tujuan otonomi daerah, belum termanifestasi secara riil dalam praktik penyelenggaraan pemerintah daerah. Pemenuhan kebutuhan hak-hak sosial, ekonomi dan budaya masyarakat belum berjalan secara optimal. Dimensi ”minta dilayani” masih kental menyelimuti pola pikir (mindset) para elite lokal yang mestinya pada dirinya teremban amanat rakyat untuk mewujudkan harkat dan martabat kedaulatan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tingkat lokal. Memudarnya makna hakekat demokrasi tersebut dalam perkembangannya tidak dapat dipungkiri akan cenderung menggerus dan memperpuruk legitimasi dan kredibilitas pemerintah di mata publik, sehingga muncul sikap ketidakpercayaan kepada pemerintah. Implikasinya, segala kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah sering tidak berjalan efektif di lapangan. Dalam proporsi tertentu muncul ketidakpatuhan dan ketidaktaatan sosial yang menjurus kepada suasana anomali yang barangkali bisa menjadi cikal bakal tumbuhnya anarkisme dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Secara psiko-sosial, kondisi itu juga memungkinkan tumbuhnya sikap apatis, pesimis, skeptis, ketidakpedulian, atau bahkan ketidakberdayaan (disempowerment) masyarakat terhadap segala keluaran (output) dan capaian kinerja dari proses penyelenggaraan sistem pemerintahan.

2.1.5.2 Partisipasi Politik

Tingginya angka partisipasi politik masyarakat Kota Magelang (tercatat pada Pemilu Legilslatif sebesar 75,49 persen, Pilpres putaran I 79,42 persen, Pilpres putaran II tahun 2004 81,03 persen, dan Pilkadasung 2005 sebesar 77,45 persen, atau rata-rata sebesar 78,35 persen) memberi andil yang besar, tidak saja terhadap suksesnya Pemilu dan Pilkadasung melainkan juga dalam memperkuat legitimasi figur-figur terpilih untuk mengemban amanat rakyat. Fenomena politik ini mencerminkan bahwa proses pendidikan dan pembelajaran politik telah cukup berjalan dalam menumbuhkembangkan partisipasi politik warga. Namun demikian, secara substansial, partisipasi politik warga belum tampak otonom, yang tampak ke permukaan lebih terlihat sebagai mobilisasi massa oleh aktor atau kelompok politik tertentu yang cenderung hanya diorientasikan kepada keuntungan dan kepentingan mereka sendiri. Ini mengisyaratkan bahwa fungsi partai politik ataupun kelompok kepentingan lainnya dalam internalisasi nilai, rekrutmen politik, artikulasi dan agregasi politik, serta komunikasi politik belum berjalan sebagaimana mestinya. Budaya politik demokrasi belum berkembang sesuai nilai-nilai yang ada sehingga kualitas pemahamannya belum mampu diwujudkan dalam kehidupan politik sehari-hari. Tingkat rasionalitas politik warga belum berkembang sebagaimana mestinya sehingga seringkali yang muncul ke permukaan adalah emosi politik dan terabaikannya etika berdemokrasi.

Kemajuan demokrasi terlihat pula dengan telah berkembangnya kesadaran terhadap hak-hak rakyat dalam kehidupan politik, yang dalam jangka panjang diharapkan mampu menstimulasi masyarakat untuk lebih jauh kian aktif berpartisipasi dalam mengambil inisiatif bagi pengelolaan urusan-urusan publik. Kemajuan itu tidak terlepas dari berkembangnya peran partai politik, organisasi non-pemerintah dan organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya, serta adanya kebebasan pers dan media yang antara lain ditandai dengan peran aktifnya dalam menyuarakan aspirasi masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan.

2.1.6 Keamanan dan Ketertiban

2.1.6.1 Stabilitas keamanan dan ketertiban

Terpeliharanya stabilitas keamanan dan ketertiban daerah merupakan keberhasilan seluruh elemen baik dari jajaran pemerintah maupun masyarakat, utamanya aparat/perangkat keamanan dan ketertiban. Situasi keamanan dan ketertiban yang sejuk dan kondusif selama ini telah menjadi modal dan kekuatan bagi Kota Magelang dalam melangsungkan praktik penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Keberlangsungan dan kelancaran segala kebijakan, strategi, program, dan kegiatan yang telah dicanangkan Pemerintah Kota Magelang beserta jajarannya sudah tentu memerlukan dukungan suasana yang kondusif dan nyaman dari lingkungan yang melingkupinya. Harmonisasi antar warga dalam interaksi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang telah berjalan serasi selama ini sangat mendukung terhadap berbagai upaya yang dilakukan guna menciptakan dan mengembangkan tenggangrasa, toleransi, hormat menghormati, dan kesetiakawanan sosial antar berbagai unsur yang ada. Hal yang membanggakan bagi Kota Magelang adalah meskipun tingkat pluralistik masyarakatnya cukup tinggi, namun terjadinya gejolak ataupun konflik baik yang bersifat vertikal maupun horizontal hingga kini dapat ditekan serendah mungkin. Kondisi yang favourable ini merupakan prestasi dan prestise yang layak untuk selalu dijaga dan didukung oleh seluruh komponen masyarakat Kota Magelang.

2.1.6.2 Antisipatif dan preventif

Secara empirik, gangguan keamanan dan ketertiban yang selama ini muncul dan berpotensi berkembang di Kota Magelang adalah apabila terjadi konflik antara buruh dan majikan dalam pengelolaan manajemen perusahaan; perilaku tidak tertib kalangan sektor informal kaki lima dan gepeng; unjuk rasa; perkelahian/perselisihan antar kelompok dan tawuran; pelanggaran norma sosial; serta berbagi bentuk pelanggaran dan ketidakdisiplinan lainnya. Adanya kerawanan dan masalah sosial tersebut akan berdampak negatif dan berpotensi melahirkan berbagai penyakit masyarakat seperti kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, minuman keras, perjudian, pelacuran, premanisme, dan perilaku sosial yang menyimpang lainnya. Lebih dari itu, tidak boleh dilupakan juga terhadap ancaman bahaya yang lebih besar yakni terorisme, konflik yang bersifat SARA, dan gerakan radikalisme yang acapkali bersifat laten serta memiliki spektrum jaringan dan daya destruktif yang lebih luas.

Potensi terjadinya riak-riak kecil gesekan sosial tetap ada dan harus senantiasa kita waspadai bersama. Upaya antisipatif dan preventif dalam memperkuat jalinan kohesi sosial adalah dengan memupuk dan menumbuhkembangkan rasa kebersamaan dan kegotongroyongan yang telah menjadi karakter bangsa Indonesia. Penguatan wawasan kebangsaan dan semangat persatuan kesatuan akan menyuburkan rasa memiliki (sense of belonging) bagi setiap individu dan warga masyarakat terhadap lingkungan huniannya sendiri maupun cakupan yang lebih luas dalam wilayah Kota Magelang, meski antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan baik sosial, ekonomi, budaya, agama maupun orientasi politiknya. Permasalahannya, dalam perkembangan kehidupan yang makin kompleks ini sangat dirasakan adanya kecenderungan memudarnya nilai-nilai wawasan kebangsaan dari berbagai lapisan masyarakat. Lunturnya nilai-nilai wawasan kebangsaan pada gilirannya dapat memunculkan sikap dan tindakan yang hanya bersemangatkan solidaritas sempit, ikatan primordial, dan sektarian dari satu kelompok masyarakat tertentu yang bisa mengakibatkan retaknya keharmonisan, keserasian, dan integrasi antar warga dalam jalinan interaksi sosial. Di sisi lain, maraknya perilaku KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang menggerogoti kekayaan negara mencerminkan pula terjadinya erosi dan menipisnya rasa cinta air dari para pelakunya.

2.1.6.3 Peran Aparat dan Partisipasi Masyarakat

Terjadinya pelanggaran dan ketidaknyamanan lingkungan akibat gangguan keamanan pada satu sisi disebabkan oleh lemahnya kesiap-siagaan dan kewaspadaan aparat keamanan, dan juga karena kurangnya dukungan masyarakat dalam menjaga kondusifitas lingkungan sekitar melalui sistem keamanan lingkungan yang berbasiskan rakyat semesta. Karenanya diperlukan aparat keamanan yang terlatih dan terbina secara berkelanjutan, sekaligus penyiapan komponen-komponen masyarakat dalam konteks cegah dan deteksi dini terhadap semua gejala yang diindikasikan mempunyai kecenderungan membuat suasana tidak aman dan tidak tertib. Penanaman nilai serta sosialisasi beserta keteladanan para pemimpin mengenai arti penting penerapan pola hidup yang tertib dan patuh aturan hendaknya bisa dikembangkan secara intensif dan operasional dalam kehidupan nyata sehari-hari. Dengan begitu lambat laun akan terkristalisasi suatu pranata atau nilai-nilai disiplin, patuh dan taat aturan, serta penegakan supremasi hukum kepada siapa saja tanpa pandang bulu dalam format tata nilai sosial. Secara evolutif diharapkan nilai-nilai kebiasaan (customs) tersebut menjadi pegangan dalam kehidupan sehari-hari dan membentuk suatu budaya masyarakat yang senantiasa mengedepankan spirit disiplin dan etos kerja yang tinggi. Termasuk di dalam ranah ini adalah partisipasi masyarakat melalui peningkatan kesiapsiagaan dan kewaspadaan dalam menghadapi bencana yang juga ikut menyumbang bagi terciptanya kenyamanan lingkungan dalam kehidupan bersama.

Patut pula dicatat bahwa pada tataran masyarakat sipil, melalui fasilitasi Pemerintah Kota Magelang, telah terbentuk Forum Persaudaraan Bangsa Indonesia (FPBI) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Kota Magelang yang diharapkan dapat menjadi pilar dalam memperkuat dan menggalang solidaritas, toleransi, kerukunan, dan tenggang rasa antar umat yang memiliki perbedaan baik suku bangsa/etnis maupun agama yang dipeluknya. Intensitas komunikasi, kerjasama, dan koordinasi antar warga dengan latar belakang beda suku dan agama ini sangat diperlukan untuk mempererat dan memperkokoh semangat persaudaraan dan kebersamaan sebagai sesama anak bangsa dalam wadah NKRI. Pengembangan dan pemupukan wawasan serta semangat kebangsaan ini harus dilaksanakan secara berkelanjutan dan berkesinambungan, disampaikan secara berulang-ulang (repetitif), dan disertai keteladanan yang nyata dari para pemimpinnya guna kian menumbuhkembangkan rasa nasionalisme, patriotisme, dan cinta tanah air pada semua lapisan masyarakat, terutama dari kalangan generasi muda. Disamping itu, juga dibutuhkan semangat kebersamaan, kebesaran hati, dan kegotongroyongan dalam memperkokoh rasa saling menghormati dan menghargai intern umat beragama, intra umat beragama, dan antara umat beragama dengan pemerintah dalam suasana ”kekitaan” untuk mengerti, memahami, menyadari, dan menerima adanya perbedaan yang ada. Secara preventif, dampak yang diharapkan dari upaya-upaya tersebut adalah agar dapat mencegah terjadinya perpecahan antar umat atau menghindari munculnya tindakan kekerasan yang acapkali hadir dalam gejolak atau konflik antar umat beragama maupun antar etnis.

2.1.7 Hukum dan Aparatur

2.1.7.1 Pemerintahan Umum

Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sesuai yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 18, Pemerintah telah menetapkan undang-undang yang mengatur tentang Pemerintahan di Daerah yang digunakan sebagai dasar pijakan dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah di tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah merupakan wujud pelaksanaan reformasi di bidang pemerintahan daerah. Perubahan yang sangat signifikan di dalamnya adalah diterapkannya sistem pelaksanaan pemerintahan daerah yang semula bersifat sentralisasi menjadi desentralisasi. Pada era ini Pemerintah Daerah benar-benar diberi keleluasaan sepenuhnya dalam menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan batas kewenangannya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Kabupaten/Kota diberi keleluasaan dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip desentralisasi dengan mendorong upaya-upaya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, serta mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menempatkan Otonomi Daerah secara riil dan seluas-luasnya kepada daerah. Kabupaten dan Kota dalam kedudukannya sebagai Daerah Otonom yang mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Hampir semua kewenangan dapat dilaksanakan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan lainnya. Maksud kewenangan bidang lainnya itu meliputi: kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional. Lebih dari itu, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 juga telah ditegaskan bahwa antara pemerintah Kabupaten dan atau Kota tidak ada lagi hubungan hierarkhis dengan Pemerintah Provinsi, meski Provinsi tetap berkedudukan sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat.

Sejalan dengan berlangsungnya reformasi, pelaksanaan otonomi terus berjalan sesuai dengan perkembangan jaman, namun dalam rangka menyelaraskan antara undang-undang yang satu dengan undang-undang lainnya dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Hasilnya secara relatif telah terjadi keselarasan antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan undang-undang lainnya seperti: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Atas Pengelolaan Keuangan Negara, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Meskipun undang-undang tentang pemerintahan daerah telah diganti, tetapi pada dasarnya tidak merubah pelaksanaan asas desentralisasi, sehingga Pemerintah Kabupaten/Kota tetap diberi kewenangan penuh sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah yang mengacu pada undang-undang sebelumnya.

Permasalahan yang muncul adalah bagaimana Pemerintah Kota Magelang 20 tahun ke depan dapat menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan kewenangan-kewenangan yang telah diberikan. Dalam kerangka itulah, maka Program Pembangunan Jangka Panjang Kota Magelang harus mampu dipersiapkan dengan format perencanaan pembangunan bidang pemerintahan umum, hukum, dan aparatur sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi, serta mengakomodasikan berbagai kepentingan yang selaras dengan aspirasi masyarakat.

2.1.7.2 Hukum

Salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintahan dan pelayanan masyarakat adalah penegakan supremasi hukum yang merupakan salah satu pilar dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih. Hukum dapat diterapkan sebagaimana mestinya sebagai tempat pijakan bagi seluruh kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.

Upaya-upaya konkret dalam penegakan supremasi hukum sebagai manifestasi pemulihan kepercayaan masyarakat di Kota Magelang telah ditempuh melalui penyusunan dan penerbitan produk-produk hukum daerah yang aspiratif sesuai kebutuhan daerah serta mengedepankan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Upaya tersebut ditunjang pula dengan peningkatan kapasitas dan kualitas kelembagaan serta aparatur hukum dan penyediaan sarana prasarana hukum yang memadai.

Pembinaan hukum tahun 2000 sampai tahun 2004 berpedoman pada kebijakan umum bidang hukum sebagaimana tercantum dalam pokok-pokok reformasi pembangunan Kota Magelang Tahun 1999 serta kebijakan bidang hukum yang tercantum dalam Propeda Kota Magelang Tahun 2002-2005 dan RENSTRA Kota Magelang Tahun 2002-2005.

Hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka pembinaan hukum di Kota Magelang dalam kurun waktu Tahun 2000-2004 adalah:

  1. Produk Hukum berupa Peraturan Daerah, Tahun 2000 sebanyak 18 buah, Tahun 2001 sebanyak 22 buah, tahun 2002 sebanyak 17 buah, tahun 2003 sebanyak 21 buah dan tahun 2004 sebanyak 4 buah.
  2. Sedangkan dalam rangka peningkatan SDM di bidang teknis perancangan perundang-undangan, tahun 2002 dan 2003 Bagian Hukum telah mengadakan kerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang melaksanakan bimbingan teknis perancangan perundang-undangan kepada pejabat/staf dilingkungan Pemerintah Kota Magelang dan para Ketua Komisi serta Anggota Komisi A DPRD Kota Magelang.
  3. Penyuluhan hukum sebagai upaya meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hukum (Peraturan Daerah) sehingga terwujud peningkatan rasa memiliki dari masyarakat terhadap produk hukum yang telah ada. Kegiatan penyuluhan hukum berupa sosialisasi Perda, dan peraturan hukum lainnya serta pembinaan Jaringan Dokumentasi dan Informasi (JDI) Hukum telah dilaksanakan sejak tahun 2003 sampai tahun 2004.
  4. Pemberdayaan lembaga hukum sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pengetahuan dan wawasan hukum bagi semua penegak hukum yang ada di Kota Magelang melalui koordinasi antar lembaga/instansi daerah, khususnya lembaga penegak hukum serta komunikasi aktif antara legislatif, eksekutif dan yudikatif di daerah melalui jalur-jalur yang efektif serta mengacu kepada tugas dan fungsinya masing-masing.
  5. Koordinasi aparat penegak hukum sebagai upaya menyamakan presepsi dalam rangka menyelesaikan kasus/permasalahan hukum yang ada di Pemerintah Kota Magelang. Bagian Hukum telah mengadakan pertemuan rutin setiap 3 (tiga) bulan sekali dengan aparat penegak hukum yang terdiri dari aparat kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Satpol PP, Ikadin dan IPHI serta Kesbanglinmas.

2.1.7.3 Kelembagaan dan Aparatur

Salah satu hal yang tidak kalah penting dalam mengelola kewenangan-kewenangan yang dimiliki Pemerintah Kota Magelang adalah masalah kelembagaan, yang merupakan struktur dan wadah dalam mengimplementasikan tugas pokok dan fungsi sesuai kewenangan yang dimilikinya.

Pemerintah Kota Magelang memiliki 46 lembaga daerah atau yang biasa dikenal dengan istilah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terdiri dari:

  1. Sekretariat Daerah
  2. Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
  3. Dinas Pekerjaan Umum
  4. Dinas Kesehatan
  5. Dinas Pendidikan
  6. Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan
  7. Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan
  8. Dinas Tenaga Kerja,Transmigrasi dan Sosial
  9. Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika
  10. Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah
  11. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
  12. Dinas Kebersihan Pertamanan dan Tata Kota
  13. Dinas Pemuda Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata
  14. Dinas Pengelolaan Pasar
  15. Inspektorat
  16. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
  17. Badan Kepegawaian Daerah
  18. Badan Pelayanan Kesehatan RSUD Tidar
  19. Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan KB
  20. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
  21. Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat
  22. Kantor Penanaman Modal
  23. Kantor Lingkungan Hidup
  24. Kantor Satuan Polisi Pamong Praja
  25. Kantor Penelitian, Pengembangan dan Statistik
  26. Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi
  27. Kecamatan Magelang Utara
  28. Kecamatan Magelang Tengah
  29. Kecamatan Magelang Selatan
  30. Kelurahan Jurangombo Utara
  31. Kelurahan Jurangombo Selatan
  32. Kelurahan Rejowinangun Selatan
  33. Kelurahan Magersari
  34. Kelurahan Tidar Utara
  35. Kelurahan Tidar Selatan
  36. Kelurahan Wates
  37. Kelurahan Potrobangsan
  38. Kelurahan Kedungsari
  39. Kelurahan Kramat Utara
  40. Kelurahan Kramat Selatan
  41. Kelurahan Kemirirejo
  42. Kelurahan Cacaban
  43. Kelurahan Rejowinangun Utara
  44. Kelurahan Magelang
  45. Kelurahan Panjang
  46. Kelurahan Gelangan

Lembaga-lembaga tersebut dibentuk berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Hasil-hasil penataan kelembagaan Kota Magelang telah dituangkan dalam Peraturan Daerah sebagai berikut :

  1. Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Susunan, Kedudukan dan Tugas Pokok Organisasi Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Magelang.
  2. Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Susunan, Kedudukan dan Tugas Pokok Organisasi Dinas Daerah.
  3. Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Susunan, Kedudukan dan Tugas Pokok Organisasi Lembaga Teknis Daerah, Badan Pelayanan Perijinan Terpadu dan Satuan Polisi Pamong Praja.
  4. Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 6 Tahun 2008 tentang Susunan, Kedudukan dan Tugas Pokok Organisasi Kecamatan dan Kelurahan.

Perkembangan fenomena sosial politik pada saat ini menunjukkan bahwa secara umum semangat reformasi telah membawa bangsa Indonesia pada suasana kehidupan yang sarat dengan harapan. Pada tataran awal, tuntutan reformasi tertuju pada aparatur pemerintah. Rakyat mengharapkan terwujudnya good governance dengan dukungan aparatur pemerintah yang profesional, responsif, dan bersih dari KKN. Mereka cukup paham bahwa pemerintahan yang baik itu antara lain dapat terwujud melalui kebijakan desentralisasi, yang intinya mengarahkan kepada pemberdayaan dan partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan untuk berperan serta dalam proses penyelenggaraan pemerintahan demi terciptanya peningkatan kesejahteraan rakyat.

Pada realitasnya, berbagai tuntutan itu tidaklah mungkin serta merta dapat terwujud. Banyak langkah yang mesti direncanakan, dilakukan, dan dinilai secara sistimatis dan konsisten. Dalam konteks ini, penataan sumber daya aparatur menjadi hal yang sangat penting dilakukan, terlebih lagi di era yang sarat akan tuntutan keterbukaan (transparansi) dan akuntabel seperti saat ini.

Penataan sumber daya aparatur yang profesional dalam manajemen otonomi daerah merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan. Reformasi di bidang administrasi pemerintahan mengharapkan hadirnya pemerintahan yang lebih berkualitas dan mampu mengemban fungsi-fungsi pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi.

Apabila dikaji secara lebih cermat, manajemen otonomi daerah yang luas dan utuh tidak saja bermakna sebagai peluang, tetapi juga tantangan bagi pemerintah daerah dan masyarakatnya. Otonomi daerah memang memberi kesempatan yang besar kepada pemerintah daerah dan masyarakatnya untuk mengatur, melayani, dan memenuhi kebutuhan mereka dalam rangka hidup bermasyarakat dan berpemerintahan. Namun demikian, sejumlah kewenangan yang diberikan oleh pemerintah tidak bisa begitu saja dapat dialihkan kepada masyarakat daerah.

Untuk dapat bermakna positif bagi kehidupan masyarakat, otonomi daerah mensyaratkan terbentuknya sejumlah kondisi kelembagaan yang responsif dalam mengelola kewenangan-kewenangan daerah yang dimiliki. Selain itu juga didukung oleh aparatur yang terampil serta masyarakat yang siap serta kreatif dalam memanfatkan peluang-peluang yang terbuka. Itulah sebabnya, maka penyerahan kewenangan ke daerah tetap berprinsip kepada koridor-koridor yang ada dan disesuaikan dengan tingkat kebutuhan, kemampuan, dan kemanfaatannya. Dalam konteks ini, faktor kunci yang utama adalah profesionalisme aparatur.

Keberhasilan manajemen otonomi daerah menuntut perlunya peningkatan kapasitas dan etos kerja yang tinggi dari para pelaksananya. Dengan itu maka sudah seharusnya pemerintah daerah mengupayakan tersedia dan terciptanya aparatur yang profesional, baik dalam arti kapabilitas maupun dalam arti integritas, moralitas dan etika yang tinggi dalam praktik sehari-harinya.

Aparatur pemerintah daerah merupakan salah satu aset daerah yang setiap saat selalu harus diberdayakan serta ditingkatkan baik dari segi kemampuan, moralitas, etika, maupun budaya kerjanya. Tujuannya adalah agar dapat merealisasikan pelaksanaan otonomi daerah sehingga pada gilirannya akan mampu mengemban tujuan negara pada umumnya dan tujuan daerah pada khususnya, yakni peningkatan kesejahteraan dan kualitas taraf hidup masyarakat sesuai dengan cita-cita yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Pemerintah Kota Magelang, yang merupakan Kota terkecil di Indonesia, pada tahun 2006 tercatat memiliki 4.046 personil PNS yang terdistribusi di sejumlah 29 SKPD. Sejumlah 4.046 personil PNS ini merupakan salah satu aset pemerintah daerah yang kesehariannya mempunyai tugas pokok untuk menyelenggarakan roda pemerintahan daerah, pembangunan dan melayani masyarakat sesuai dengan bidang dan kompetensinya masing-masing.

Dalam rangka peningkatan kualitas dan profesionalisme SDM aparatur pemerintah, telah dilaksanakan berbagai pelatihan baik yang bersifat struktural, fungsional maupun teknis yang penyelenggaraannya dilakukan secara mandiri atau melalui pengiriman peserta pada tingkat provinsi / pusat.

Dalam aplikasi selanjutnya, terhadap SDM aparatur yang telah dibekali dengan berbagai ketrampilan tersebut selanjutnya disamping diadakan langkah-langkah pengendalian juga perlu dilkukan peningkatan pengawasan yang efektif dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Hal ini guna mendukung terciptanya aparatur yang bersih. Adapun langkah-langkah yang telah dilaksanakan dalam rangka pengawasan aparatur selama ini adalah pembinaan pegawai/peningkatan disiplin pegawai dengan mengedepankan etika, moral dan etos kerja yang tinggi terhadap setiap individu aparatur.

Untuk menciptakan suasana kerja yang kondusif dan dalam rangka menunjang peningkatan kualitas aparatur, juga telah dibarengi dengan penyediaan sarana dan prasarana kerja sesuai dengan kebutuhan dan tentunya sebatas kemampuan keuangan daerah.

Dalam penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan diperlukan adanya kelembagaan yang kokoh dan optimal terhadap fungsi-fungsi dan hubungan antar instansi pemerintah.

Pemerintah Kota Magelang melalui program tahunannya secara berkelanjutan dan insidentil telah melaksanakan kegiatan koordinasi mulai dari tingkat pimpinan daerah hingga tingkat jajaran dibawahnya. Dengan mendasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah, telah diselenggarakan rapat koordinasi MUSPIDA (plus) Kota Magelang yang anggotanya terdiri dari Walikota Magelang, Kapolresta Magelang, Komandan Kodim 0705 Magelang, Kepala Kejaksaan Negeri Kota Magelang, Ketua Pengadilan Negeri Kota Magelang, dan Ketua DPRD Kota Magelang. Rakor MUSPIDA (plus) merupakan forum kerjasama dan konsolidasi untuk saling tukar menukar informasi mengenai berbagai masalah yang membutuhkan penanganan secara koordinatif, materi yang dibahas antara lain meliputi masalah stabilitas politik di Kota Magelang, keamanan, ketertiban dan ketentraman, sosial kemasyarakatan dan berbagai masalah aktual lainnya.

Ditingkat Legislatif terdapat wadah koordinasi yaitu Forum Komunikasi Legislatif Daerah (FORKOMLEGEDA) yang berfungsi membina hubungan, menyamakan persepsi dan menyerasikan kebijakan serta sebagai forum untuk memecahkan berbagai masalah yang muncul dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Forum ini diadakan secara insidentil guna menyikapi berbagai masalah strategis yang membutuhkan langkah pemecahan secara koordinatif, untuk tingkat nasional koordinasi antar DPRD se-Indonesia diwadahi dalam forum Asosiasi DPRD Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI).

Dalam tingkat hubungan antar pemerintah daerah, Pemerintah Kota Magelang sudah tercatat sebagai anggota Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI). Organisasi ini merupakan wahana koordinasi antar pemerintah kota di seluruh Indonesia dengan orientasi utama untuk menyamakan presepsi tentang pelaksanaan otonomi daerah dan sekaligus sebagai media koordinasi dengan Pemerintah Pusat.

Disamping berbagai bentuk koordinasi tersebut di atas, Pemerintah Kota Magelang secara rutin juga telah melaksanakan langkah-langkah koordinasi yang meliputi koordinasi perencanaan pembangunan, koordinasi laporan pembangunan serta koordinasi pengawasan pembangunan, hal tersebut sebagai upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan sehingga hasilnya dapat tercapai secara optimal.

2.1.8 Wilayah dan Tata Ruang

2.1.8.1 Tata Ruang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Magelang disusun untuk mengantisipasi kecenderungan perkembangan kota dengan memberikan arah dan pedoman bagi pengembangan kota. Dengan demikian tujuan penataan ruang Kota Magelang adalah agar supaya kegiatan-kegiatan masyarakat perkotaan dapat tertata sesuai peruntukannya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyusunan rencana tata ruang kota didasarkan pada kondisi yang akan dicapai bagi Kota Magelang, yaitu pada dasarnya menjadikan Magelang untuk mampu mengemban peran dan fungsi sebagai kota jasa, dengan penekanan pada jasa pendidikan, jasa kesehatan dan jasa perekonomian. Peran rencana tata ruang dengan demikian sangat terkait dengan pengembangan suatu wilayah. Wilayah-wilayah yang akan dikembangkan disusun dalam skenario pengembangan wilayah dan diakomodasi didalam rencana tata ruang wilayah.

Saat ini penataan ruang dan pengembangan wilayah di Kota Magelang didasarkan pada rencana tata ruang Kota Magelang yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Magelang. Rencana tata ruang tersebut mengatur arah pengembangan Kota Magelang dalam 4 wilayah pengembangan yaitu 4 Bagian Wilayah Kota (BWK). Masing-masing BWK mengemban arah pengembangan kegiatan, yaitu BWK I atau Pusat Kota adalah sebagai kawasan yang diarahkan untuk mewadahi kegiatan jasa, perdagangan; BWK II untuk mewadahi kegiatan pendidikan, rekreasi dan olah raga; BWK III sebagai pusat pengembangan kegiatan pariwisata kota sedangkan BWK IV lebih diarahkan untuk mewadahi pengembangan kegiatan perdagangan, perhubungan dan jasa.

Penetapan BWK yang masing-masing mewadahi kegiatan tertentu tersebut ditujukan untuk mengarahkan pengembangan Kota Magelang, di mana pada dasarnya adalah mengembangkan dan meratakan keramaian kota kesemua sudut kota. Itu dilakukan untuk mengantisipasi konsentrasi pengembangan kegiatan pada pusat-pusat kegiatan ekonomi kota yang selama ini masih terpusat pada kawasan pusat kota saja. Apabila kondisi ini dibiarkan terus-menerus diperkirakan kelak akan terjadi ketidakseimbangan pertumbuhan kegiatan dan ketidakmerataan distribusi sarana dan prasarana kota.

Untuk menyebarkan keramaian kota maka sejak tahun 2001 telah disusun skenario pengembangan kota dengan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru perekonomian kota, yang meliputi pengembangan: Kawasan Sidotopo, Kawasan GOR Samapta, Kawasan Kebonpolo, Kawasan Soekarno-Hatta, Kawasan Taman Kyai Langgeng, Kawasan Sentra Perekonomian Lembah Tidar. Kawasan-kawasan tersebut dikembangkan berdasarkan arah pengembangan dalam rencana tata ruang.

Tahap pengembangan kawasan-kawasan itu pada umumnya masih dalam tahap awal pengembangan melalui pembangunan beberapa jaringan infrastruktur yang dipadukan dengan upaya-upaya untuk menarik penanam modal. Dalam pengembangan kawasan ini diperkirakan yang kurang diminati penanam modal adalah Kawasan GOR Samapta. Oleh karena itu dalam mengembangkan kawasan itu harus dipacu dengan pengalokasian anggaran yang memadai dari daerah.

Pada aspek penataan ruang, Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1999 akan berakhir pada tahun 2008, dan saat ini sedang dilakukan revisi penyusunan rencana tata ruang yang mendasari penyusunan peraturan daerah baru yang akan mengganti peraturan daerah tentang penataan ruang yang tengah berlaku saat ini. Revisi rencana tata ruang dilakukan selain disebabkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1999 akan berakhir pada tahun 2008, juga dikarenakan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Maka dari itu bagi Kabupaten dan Kota harus segera menyusun revisi rencana tata ruang agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan pokok yang diamanatkan dalam undang-undang penataan ruang.

Perencanaan tata ruang suatu daerah tidak bisa terlepas dari perencanaan tata ruang daerah disekitarnya, serta perencanaan tata ruang yang disusun oleh pemerintah daerah tingkat atasnya. Dalam membahas rencana tata ruang Kota Magelang, selain mengacu pada rencana tata ruang yang disusun oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, juga memperhitungkan kecenderungan yang terjadi dan diprediksi akan terjadi pada wilayah-wilayah sekitar Kota Magelang.

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah, Kota Magelang diidentifikasikan sebagai suatu kawasan cepat tumbuh. Hal itu berarti Kota Magelang dipandang mampu memberikan pelayanan bagi wilayah-wilayah disekitarnya. Pelayanan yang mampu diberikan oleh Kota Magelang adalah didukung dengan kelengkapan fasilitas pelayanan dasar, yang terutama meliputi pelayanan bidang pendidikan, kesehatan dan perdagangan. Disamping itu, dan seiring dengan pengembangan bidang kepariwisataan, pelayanan jasa akomodasi pariwisata telah cukup berkembang dan mampu memberikan pelayanan yang memadai. Dengan peran dan fungsi yang mampu diemban oleh Kota Magelang sebagai pusat pelayanan bagi kawasan disekitarnya, maka pertumbuhan Kota Magelang akan lebih cepat dibandingkan dengan daerah sekitarnya.

Selain itu, Kota Magelang juga termasuk dalam Kawasan Kerjasama Strategis dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang secara khusus termasuk dalam Kawasan Purwomanggung, yaitu suatu kawasan yang mewadahi kerja sama antara wilayah Kabupaten Purworejo, Wonosobo, Magelang, Temanggung dan Kota Magelang. Hal ini memberikan peluang kepada Kota Magelang untuk meningkatkan peran dan fungsinya dalam melayani kawasan sekitarnya, yang akan memberikan dampak positip bagi pertumbuhan ekonomi Kota Magelang. Dengan demikian pengembangan kawasan-kawasan strategis di Kota Magelang harus disiapkan dan diarahkan agar mampu memberikan kontribusi yang positip bagi pertumbuhan ekonomi kota.

2.1.8.2 Wilayah

Dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah Provinsi Jawa Tengah, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Magelang disusun untuk mengarahkan dan memfasilitasi pemanfaatan ruang kota yang diperhitungkan terhadap:

  1. Prediksi kebutuhan penduduk pada akhir tahun perencanaan;
  2. Sumber daya yang dimiliki untuk dapat dioptimalkan pemanfaatannya;
  3. Ancaman yang harus diatasi dan peluang yang harus dimanfaatkan;
  4. Kebijakan pengembangan kota.

Guna mengoptimalkan pengembangan kawasan perkotaan; memudahkan pengelolaan kawasan perkotaan; meningkatkan fungsi pelayanan, serta untuk menentukan kawasan-kawasan yang akan dilakukan perencanaan secara lebih rinci, maka kawasan perkotaan di Kota Magelang dilakukan pembagian wilayah kota ke dalam unit-unit lingkungan atau kedalam kawasan fungsional yang lebih kecil. Unit lingkungan perkotaan yang lebih kecil tersebut dikenal sebagai Bagian Wilayah Kota (BWK).

Bagian Wilayah Kota merupakan sub wilayah pembangunan di Kota Magelang dan mewadahi kegiatan dominan yang direncanakan. Dalam rencana tata ruang kota Magelang terdapat 5 (lima) Bagian Wilayah Kota (BWK), dimana masing-masing BWK mewadahi kegiatan tertentu sesuai dengan arahan perkembangan kota yang telah disusun. Masing-masing BWK kemudian dibuat Sub BWK (SBWK) yang merupakan Blok Peruntukan Kawasan. Kelima BWK tersebut diarahkan untuk mewadahi kegiatan-kegiatan:

  1. BWK I atau Bagian Wilayah Pusat Kota, seluas + 260,2 hektare terdiri dari 8 SBWK, dan berfungsi sebagai kawasan yang mewadahi kegiatan perkotaan, dengan karekateristik kegiatan sebagai pusat pelayanan sosial-ekonomi skala kota, rekreasi/wisata perkotaan, dan permukiman dengan kepadatan tinggi. Karakteristik BWK Pusat Kota adalah lokasi di tengah wilayah kota dan mempunyai daya jangkau yang relatif merata dari semua sudut kota. Fasilitas pelayanan dasar, khususnya fasilitas ekonomi dan sosial kota, tersedia dan tersebar cukup merata di BWK I. Kepadatan penduduk dan kepadatan bangunan sangat tinggi, sehingga dimasa yang akan datang harus diantisipasi dalam pola pemanfaatan lahan secara vertikal. Areal BWK I meliputi seluruh wilayah Kelurahan Panjang dan Rejowinangun Selatan; sebagian wilayah Kelurahan Rejowinangun Utara; Magersari; Kemirirejo; Cacaban; Magelang dan Gelangan.
  2. BWK II, seluas + 464,7 hektare terdiri dari 8 SBWK dengan konsentrasi kegiatan permukiman, pendidikan tinggi, dan militer. Pada beberapa simpul lokasi di BWK II, terutama kawasan-kawasan yang bersinggungan langsung dengan kawasan pusat kota harus diantisipasi perkembangan fasilias perdagangan dengan skala pelayanan lokal dan regional. Areal BWK II meliputi seluruh wilayah Kelurahan Potrobangsan; sebagian wilayah Kelurahan Wates; Gelangan; Cacaban dan Magelang.
  3. BWK III, seluas + 386,6 hektare mempunyai 6 SBWK, dengan pengembangan dan pemanfaatan ruang sebagai kawasan rekreasi kota/wisata alam skala regional, pelestarian alam, pendidikan militer dan permukiman dengan kepadatan rendah. Kawasan perkotaan pada BWK III harus dipertahankan rasio antara ruang terbangun dan ruang terbuka hijau. Prediksi pemanfaatan lahan dimasa depan tidak begitu banyak bergeser dari alokasi lahan saat ini. Sedangkan pengembangan bidang kepariwisataan sangat potensial untuk diarahkan di kawasan BWK III tersebut. Gunung Tidar yang merupakan hutan lindung kota berlokasi di BWK III. Kekuatan pasar akan mendesak penggunaan lahan Gunung Tidar atau sebagian lahan gunung tersebut untuk kegiatan ekonomi. Dengan demikian dibutuhkan suatu aturan hukum yang kuat untuk menjaga kelestarian alam di kawasan tersebut. Areal BWK III meliputi seluruh wilayah Kelurahan Jurangombo Utara dan Jurangombo Selatan; sebagian wilayah Kelurahan Magersari dan Kemirirejo.
  4. BWK IV, seluas + 334,9 hektare direncanakan terdiri dari 5 SBWK, sebagai kawasan pusat pemerintahan, industri kecil dan menengah, simpul pergerakan barang, jasa dan orang, serta permukiman kepadatan rendah. Pada BWK IV terdapat kawasan Soekarno-Hatta, yang sangat potensial untuk mewadahi kegiatan perdagangan skala menengah dan besar. Hal itu didukung oleh keberadaan Terminal Tidar di kawasan tersebut. Peningkatan kegiatan perdagangan di BWK IV dimasa yang akan datang akan menjadi dominan, terutama dengan berkembangnya Kawasan Soekarno-Hatta; Kawasan Canguk, serta berkembangnya Kawasan Mertoyudan, yang berada di wilayah Kabupaten Magelang sebagai kawasan perkotaan dengan dominasi kegiatan perdagangan dan perkantoran. Pada BWK IV ini terdapat simpul-simpul kawasan yang merupakan gerbang pintu masuk kota dari arah selatan dan timur. Sehingga penataan ruang pada kawasan tersebut memerlukan prioritas yang harus dilaksanakan dalam rangka menjaga kualitas ruang kota. Areal BWK IV meliputi seluruh wilayah Kelurahan Tidar Utara; Tidar Selatan serta sebagian wilayah Kelurahan Magersari; Rejowinangun Utara dan Wates.
  5. BWK V, seluas + 365,6 hektare dan terdiri dari 7 SBWK, sebagai kawasan olah raga dan rekreasi skala kota, pusat pelayanan sosial-ekonomi skala lingkungan dan permukiman kepadatan menengah. Kawasan Sidotopo yang berlokasi di BWK V, akan berkembang sebagai salah satu kawasan yang mengampu kegiatan ekonomi kota. Sedangkan Kawasan GOR Samapta berkembang sebagai pusat kegiatan olah raga dan rekreasi kota. Areal BWK V meliputi seluruh wilayah Kelurahan Kramat Utara; Kramat Selatan dan Kedungsari.
  6. Pembagian kawasan perencanaan dalam BWK merupakan skenario yang bersifat makro, sedangkan pola pemanfaatan lahan perkotaan sudah merujuk pada pewadahan kegiatan yang direncanakan sampai tahun 2026.

Kinerja penataan ruang di suatu daerah ditunjukkan dengan ketersediaan dokumen rencana tata ruang, sumber daya manusia yang memahami rencana tata ruang, serta penyelenggaraan penataan ruang. Penyelenggaraan penataan ruang meliputi aspek pembinaan, pengaturan, pelaksanaan dan pengawasan. Saat ini di Kota Magelang telah terbentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) yang merupakan sebuah lembaga yang bersifat koordinatif dan melibatkan berbagai dinas/instansi yang terkait dengan penataan ruang. Kinerja lembaga tersebut sangat ditentukan oleh kinerja sekretariat dan kelompok kerja yang ada didalamnya. Dalam lembaga tersebut terdapat 2 kelompok kerja (pokja) yaitu Pokja Perencanaan Tata Ruang dan Pokja Pemanfaatan dan Pengendalian Tata Ruang.

Dalam hal ketersediaan dokumen rencana tata ruang saat ini di Kota Magelang sudah tersusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Magelang dan beberapa rencana dengan kedalaman rencana teknis yang meliputi: Rencana Teknis Pengembangan Kawasan Soekarno-Hatta; Rencana Teknis Bangunan dan Lingkungan Kawasan Pecinan; Studi Kelayakan Kawasan GOR Samapta dan Kawasan Sidotopo. Dokumen-dokumen tersebut sangat membantu dalam memberikan acuan bagi pengembangan kawasan yang direncanakan.

2.1.8.3 Pertanahan

Laju penggunaan lahan terbangun di Kota Magelang mempunyai kecenderungan meningkat khususnya untuk jenis guna lahan perumahan permukiman, dari total lahan terbangun seluas 1.485,92 ha lebih dari 50% merupakan lahan perumahan permukiman dan untuk jasa, perusahaan atau industri sekitar 23% lainnya merupakan prasarana perkotaan. Pola sebaran penggunaan lahan baru untuk permukiman lebih banyak mengikuti pola sebaran permukiman lama, sedang untuk jasa, perusahaan atau industri lebih cenderung mengikuti pola jaringan jalan utama pada lapis pertama.

Dengan keterbatasan sumber daya tanah yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Magelang, dihadapkan pada kendala dalam pemanfaatan lahan oleh masyarakat maka perlu dilakukan pembatasan dan pengaturan dalam tata guna lahan, sehingga penggunaan lahan akan sesuai dengan peruntukannya.

Dari luas lahan Kota Magelang sekitar 1.812 Ha kurang lebih 1.504 ha atau 80% dari luas wilayah telah bersertifikat (HGB/HP/HM) dan sekitar 70% dari lahan tersebut digunakan untuk perumahan permukiman. Kepemilikan lahan oleh masyarakat diperkotaan yang didasarkan pada luasan dan lokasi yang strategis masih didominasi oleh kepemilikan modal yang kuat, sehingga masyakat yang hanya mempunyai modal terbatas makin tersingkir ke pinggiran yang berakibat munculnya permukiman yang kumuh (slum area) di wilayah-wilayah padat Kota Magelang.

2.1.9 Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Sumber daya alam dan lingkungan hidup mempunyai peran ganda yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi (resource base economy) dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan (life support system). Sumber daya alam dibedakan menjadi sumber daya alam hayati (biotik) dan sumber daya alam non hayati (abiotik). Sedangkan berdasarkan ketersediaannya, sumber daya alam dibedakan menjadi sumber daya terbaharukan dan sumber daya alam tidak terbaharukan. Kota Magelang dengan luas wilayah yang terbatas yaitu hanya 18,12 km2 atau 1.812 Ha, dengan demikian dapat dikatakan potensi sumber daya alam yang dimiliki relatif sangat kecil.

2.1.9.1 Hutan

Hutan sebagai salah satu sumber daya alam biotik mempunyai multifungsi yaitu sebagai pencegah banjir, menyerap CO2, mengatur tata air dan sebagai penahan erosi. Luas hutan yang dimiliki Kota Magelang belum memenuhi ketentuan seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan yaitu sebesar 30% dari luas wilayah. Saat ini, luas hutan di Kota Magelang adalah 99,56 Ha atau 5,49% dari luas wilayah. Mengingat keterbatasan lahan yang dimiliki Pemerintah Kota Magelang, maka untuk memenuhi luas hutan sebesar 30% dari luas wilayah tentu akan dijumpai banyak permasalahan yang akan dihadapi. Hutan yang ada di Kota Magelang berupa taman wisata dan hutan lindung. Taman Kyai Langgeng sebagai taman wisata dengan luas 25,82 Ha memiliki kekayaan tanaman langka, sedangkan hutan lindung berada di Gunung Tidar dengan luas 73,74 Ha yang juga berperan sebagai paru-paru kota dan penahan erosi. Disamping itu masih terdapat ruang terbuka hijau berupa areal sempadan aliran Sungai Elo dan Sungai Progo dengan luas 115,7 Ha, lapangan, dan taman-taman kota.

2.1.9.2 Sumber Daya Air

Sumber daya air merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Potensi sumber daya air yang dimiliki Kota Magelang terdiri dari air hujan, air permukaan dan air tanah. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk Kota Magelang sebagian besar dipasok dari sumber mata air yang berada di wilayah Kabupaten Magelang. Pada saat ini Pemerintah Kota Magelang berupaya mengurangi ketergantungan dengan mengelola dan memanfaatkan sumber air yang berasal dari wilayah Kota Magelang sendiri yaitu mata air Tuk Pecah yang terletak di tepi Sungai Elo dengan perkiraan debit aliran air mencapai ± 224 liter/ detik.

2.1.9.3 Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahkluk hidup lainnya. Dengan demikian lingkungan hidup merupakan bagian integral dari ekosistem yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan. Setiap aktifitas kehidupan berpengaruh terhadap keadaan lingkungan hidup termasuk diantaranya adalah timbulnya dampak pencemaran baik udara, air maupun tanah. Lingkungan hidup saat ini merupakan salah satu isu yang sangat krusial karena salah satu tujuan pembangunan abad milenium atau Millennium Development Goals (MDGs) 2015 adalah perbaikan lingkungan.

Secara umum kualitas udara di Kota Magelang berdasarkan hasil pengujian dan pemantauan kualitas udara ambient pada tahun 2004, umumnya masih di bawah mutu udara ambient, tetapi untuk parameter debu dan kebisingan hampir mendekati baku mutu ambient. Sedangkan untuk kualitas air sungai berdasarkan hasil pengujian laboratorium menunjukkan hampir semua parameter melebihi baku mutu yang ditetapkan. Sumber-sumber pencemaran di Kota Magelang berasal dari industri, aktifitas rumah tangga (sumber domestik), fasilitas umum, pembakaran sampah, sumber yang bergerak seperti transportasi serta dari pertanian dalam arti yang luas.

2.1.9.4 Pengelolaan Sampah

Pengelolaan persampahan di Kota Magelang belum dilaksanakan secara efektif baik di hulu maupun di hilir, utamanya dalam proses pengangkutan.

Masyarakat sebagai produsen sampah belum berpartisipasi dalam pengelolaan persampahan. Proses pengangkutan sampah belum optimal, demikian pula dengan penimbunan sampah di TPA masih menggunakan metode Open Dumping. Besarnya timbulan volume sampah yang dihasilkan penduduk Kota Magelang adalah 354 m3/hari, sebagian besar dibuang ke TPA Banyuurip yang terletak di wilayah Kabupaten Magelang dengan luas 6,8 Ha.

2.2 TANTANGAN

2.2.1 Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama

2.2.1.1 Kehidupan beragama

Untuk bidang keagamaan, meskipun secara umum permasalahan agama lebih menyangkut masalah pribadi (private) tetapi dalam konteks penegakan etika publik yang berkaitan dengan peningkatan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan agama dalam kehidupan masyarakat (termasuk dalam hal ini penyelenggaraan pemerintahan) tidak dapat dipungkiri bahwa tantangan terberatnya adalah menyelaraskan dan menyerasikan antara nilai-nilai ajaran agama dengan praktik riil atau amalan dalam kehidupan seharí-hari. Karena agama merupakan pondasi kehidupan serta alat kontrol nurani yang esensial dalam proses pengambilan kebijakan, maka dalam upaya mengaktualisasikan nilai-nilai tekstual menjadi sesuatu yang kontekstual sangat diperlukan keteladanan dari para pemimpin pada semua lini. Pemimpin adalah panutan dan pamong bagi rakyatnya. Pemimpin yang baik sudah pasti tidak akan memanfaatkan kekuasaannya hanya demi kepentingan dirinya sendiri, tetapi senantiasa akan mengutamakan kepentingan dan kemaslahatan rakyat.

Tantangan lainnya dalam pembangunan kehidupan beragama adalah memperkuat jaringan kerja sama dan koordinasi antar umat beragama terutama ketika dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan sensitif sebagai pengaruh negatif dari globalisasi ataupun isu-isu yang mendiskreditkan salah satu agama yang dapat mengakibatkan terganggunya kerukunan antar umat beragama. Keterbatasan kewenangan pemerintah daerah dalam urusan pembangunan bidang agama menjadi tantangan tersendiri untuk memperkokoh jalinan kerjasama dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan, khususnya para tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi keagamaan, ormas, dan pemimpin informal lainnya dalam suasana interaksi yang dialogis dan saling menghargai adanya perbedaan antar satu agama dengan yang lain.

2.2.1.2       Kependudukan

Pada aspek kependudukan, dalam kurun waktu 20 tahun yang akan datang diperkirakan Kota Magelang akan menghadapi tantangan laju pertumbuhan penduduk yang cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut bukan saja disebabkan oleh peningkatan angka kelahiran tetapi juga peningkatan jumlah penduduk yang disebabkan oleh migrasi yang tidak dapat dihindari dalam bentuk arus urbanisasi sebagai dampak dari interaksi desa-kota. Kondisi ini membawa konsekuensi bagi pemerintah untuk memberikan perhatian lebih terhadap pembangunan di semua bidang baik fisik maupun non fisik termasuk peningkatan kualitas SDM agar mandiri dan berdaya saing sebagai langkah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain tantangan laju perkembangan penduduk, pada konteks administrasi kependudukan masih dihadapkan dengan tantangan yang berupa: masih rendahnya kesadaran penduduk terhadap kepentingan kepemilikan identitas diri dan keluarga, dan belum optimalnya kualitas pelayanan kependudukan.

2.2.1.3 Indeks Pembangunan Manusia

Pembangunan yang berkelanjutan dalam era globalisasi akan meningkatkan kecerdasan dan taraf hidup sehingga diharapkan akan merangsang tumbuh kembangnya kemandirian masyarakat untuk berkiprah dalam proses penyelenggaran pembangunan. Kiprah itu dapat berbentuk partisipasi aktif, sumbang saran, tuntutan transparan dalam pelaksanaan pembangunan, dan sebagainya. Untuk merespons dinamika kehidupan masyarakat tersebut diperlukan kesigapan dan daya tanggap dari aparatur pemerintah melalui mekanisme kelembagaan yang mampu menyerap aspirasi dan aksi budaya serta kreatifitas dan inovasi sosial budaya yang mengemuka. Dukungan aparat yang mantap, bersih, dan berwibawa serta pemanfaatan sarana prasarana dan teknologi tanpa mengesampingkan kearifan budaya lokal diperlukan guna mewujudkan karakteristik warga kota yang berjati diri dengan sistem yang berakar modern dan unggul namun tetap mempertahankan pentingnya budaya gotong-royong. Namun demikian, permasalahan kesejahteraan sosial yang semakin kompleks dan berkembang sebagai akibat dari dampak beratnya beban hidup dan kebutuhan ekonomi yang harus ditanggung, utamanya lapisan masyarakat menengah ke bawah, memunculkan berbagai tantangan dalam pembangunan bidang sosial budaya. Tantangan-tantangan itu dapat disebutkan antara lain:

  1. Derasnya arus informasi di era globalisasi sebagai akibat kemajuan teknologi informasi tidak jarang justru membentuk kisi-kisi negatif pada psikologi sosial yang menstimulasi munculnya gaya hidup konsumerisme dan hedonisme. Sikap dan perilaku ini seringkali cenderung mengabaikan atau bahkan “meruntuhkan” sendi-sendi nilai kebersamaan dan kegotongroyongan yang selama ini telah terbangun dalam mekanisme kehidupan bermasyarakat. Di sisi lain, jejasan tuntutan kebutuhan dan keinginan yang tinggi tanpa dibekali dengan kesadaran akan kemampuan yang dimilikinya pada perkembangannya menyebabkan disorientasi secara kejiwaan yang dampak negatifnya berakibat kepada munculnya gejala stres dan dipresi dalam kehidupan masyarakat.
  2. Kecenderungan memudarnya sistem nilai sosial budaya sebagai pranata utama pembentukan sikap dan perilaku masyarakat, serta penerapan nilai-nilai kebebasan yang berlebihan bersamaan dengan bergulirnya era reformasi membawa implikasi kepada timbulnya kekurangpatuhan masyarakat terhadap ketentuan yang berlaku. Ini mengakibatkan adanya kecenderungan kekurangteraturan dalam kehidupan masyarakat (social disorder). Di samping itu, kecenderungan terjadinya disharmoni sosial yang mengarah kepada disintegrasi sosial akibat mengentalnya perbedaan kepentingan dan perbedaan afiliasi politik, pada titik tertentu dapat meniadakan kepedulian dan peran aktif masyarakat dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Akibatnya partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial dalam kehidupan bersama tidak terpupuk dengan baik. Lebih dari itu, peran kalangan swasta juga belum tumbuh dengan subur melalui kegiatan-kegiatan filantropi (kedermawanan sosial) dalam mekanisme tanggung jawab sosial dunia usaha (corporate social responsibility).
  3. Rendahnya kapasitas dan ketrampilan masyarakat dalam mendayagunakan sumber daya secara mandiri dan berkelanjutan berimbas kepada kurang kuatnya tekad dan semangat untuk memanfaatkan, memelihara dan mengembangkan prasarana dan sarana yang sudah tersedia. Mentalitas dan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) serta etos kerja yang belum terbangkitkan dan terbina dalam wujud struktur kerangka berpikir manajerial yang berorientasi kepada capaian peningkatan produktivitas kerja yang tinggi berimbas pada rendahnya daya juang untuk mandiri, sehingga sikap mental menggantungkan diri pada yang lain baik yang bersifat individu maupun kelembagaan masih sulit untuk dihilangkan.
  4. Belum optimal dan terfokusnya kepedulian serta perhatian pemerintah terhadap upaya-upaya mempertahankan kelestarian berbagai bentuk pelayanan kesejahteraan sosial berbasis masyarakat yang selama ini telah dilaksanakan dalam tradisi kemasyarakatan, seperti: arisan, pengumpulan beras perelak/jimpitan, pembuatan lumbung pangan, usaha simpan pinjam sampai mekanisme rotasi kerja secara gotong royong, sambatan, gugur gunung, dan sebagainya. Berbagai bentuk itu merupakan mekanisme pertahanan hidup secara informal dan tradisional, yang dilaksanakan oleh warga masyarakat sebagai wujud kepedulian terhadap sesama warga. Pendekatan yang menggunakan mekanisme tradisi lokal tersebut, ternyata telah dipakai sebagai cara yang cukup handal oleh kelompok-kelompok miskin dan marginal sehingga membuktikan bahwa mereka mempunyai kemampuan dasar untuk membangun dan mempertahanakan dirinya sendiri. Hal ini berarti bahwa pelayanan kesejahteraan sosial tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga tanggung jawab masyarakat secara keseluruhan.
  5. Dengan potensi dan daya dukung yang ada tidaklah berlebihan apabila ke depannya Kota Magelang dapat menjadi pusat pilihan layanan jasa pendidikan tingkat regional dan memperkuat branchmark Kota Magelang sebagai kota jasa pendidikan yang mampu menjadi daya tarik utama bagi warga di wilayah hinterlandnya.

2.2.1.4 Kesehatan

Di bidang kesehatan, secara umum tantangan yang dihadapi adalah lebih mengefektifkan dan mengefisiensikan sistem kesehatan daerah yang merupakan tatanan yang menghimpun berbagai upaya pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta di daerah yang secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya kesehatan yang setinggi-tingginya. Adapun cakupannya meliputi: upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumberdaya manusia kesehatan, sediaan obat dan perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan manajemen kesehatan. Sedangkan spesifikasi tantangan yang dihadapi antara lain:

  1. Belum semua unsur derajat kesehatan menunjukkan kemajuan dari tahun ke tahun dengan kasus-kasus yang selalu terjadi pada masing-masing unsur tersebut.
  2. Meningkatkan fokus sasarannya melalui penyediaan layanan kesehatan yang bermutu dengan harga yang terjangkau serta kemudahan akses bagi semua lapisan masyarakat, termasuk perhatian yang intensif terhadap warga miskin.
  3. Peningkatan derajat kinerja urusan kesehatan dengan ditandai oleh semakin memadainya sarana dan prasarana, makin profesionalnya tenaga kesehatan, mekanisme dan prosedur layanan yang semakin mudah, serta kian luasnya jangkauan layanan yang diberikannya.
  4. Peningkatan perlengkapan sarana dan prasarana kesehatan yang semakin modern dan canggih untuk mengantisipasi dan melayani perkembangan jenis penyakit baik yang menular maupun tidak menular bagi penduduk Kota Magelang dan juga warga daerah sekitar, sehingga nantinya Kota Magelang dapat benar-benar menjadi pusat pelayanan kesehatan yang lengkap dan murah di tingkat regional.
  5. Peningkatan kesadaran masyarakat untuk melaksanakan pola hidup bersih dan sehat serta partisipasi dalam pembangunan kesehatan.

2.2.1.5 Pendidikan

Bidang pendidikan menghadapi tantangan untuk selalu meningkatkan kualitas pelayanannya. Peningkatan sarana dan prasarana pendidikan baik hardware maupun software di semua jenjang pendidikan, serta peningkatan kualitas proses belajar mengajarnya. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM aparat, pelaku, pendidik, dan tenaga kependidikan melalui penyediaan akses-akses untuk meningkatkan keahlian dan ketrampilan dirinya. Kapasitas dan profesionalisme yang memadai, utamanya bagi pendidik dan tenaga kependidikan, dituntut untuk secara terus-menerus dikembangkan dan dipromosikan agar bisa memenuhi kualifikasi yang diperlukan sesuai dengan tuntutan aturan yang berlaku. Semakin lengkap dan berkualitasnya sarana dan prasarana pendidikan yang dibarengi dengan mutu tenaga pendidikan yang mumpuni diharapkan nantinya output pendidikan, yakni siswa yang telah lulus sekolah, dapat berkompetisi dan unggul tatkala hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi ataupun ketika memasuki lapangan kerja. Kesemuanya itu harus didukung oleh manajemen pendidikan yang good governance dengan melibatkan unsur civil society sebagai pemangku kepentingan dalam mekanisme kerja yang akuntabel.

Satu hal yang tidak boleh terlepas dari perhatian adalah tingginya nilai APK dan APM jangan menjadi sumber kelengahan sehingga warga Kota Magelang yang berusia sekolah tetap harus menjadi prioritas. Masalah daya tampung dan kasus Drop out (DO) jangan sampai terjadi dengan alasan ekonomi. Kesempatan belajar yang seluas-luasnya mutlak diperlukan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan baik formal maupun non formal. Dengan begitu tantangan lainnya adalah memberikan layanan pendidikan yang berkualitas dan murah. Bahkan jika memungkinkan sekolah gratis dalam koridor-koridor yang rasional.

2.2.1.6 Pemberdayaan Masyarakat

Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, tantangan ke depannya adalah lebih memfokuskan dan menitikberatkan pemberdayaannya kepada upaya-upaya untuk memelihara, meningkatkan, memantapkan, mengembangkan, dan mendayagunakan modal sosial yang mencakup iklim kerja yang mendukung ketahanan sosial masyarakat dan penjaring kerja/kemitraan dalam mendukung berjalan dan berfungsinya sistem kesejahteraan sosial. Dengan demikian diharapkan akan tumbuh dan berkembang keberdayaan serta kemandirian masyarakat dengan mengedepankan paradigma yang lebih bertumpu kepada hak asasi manusia, demokratisasi dan peningkatan peran masyarakat sipil.

Selain itu juga perlu dibangun wadah bagi keluarga di daerah, terutama keluarga yang kondisi sosial ekonominya lemah, untuk diajak bergabung dalam suatu proses pemberdayaan bersama dalam Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya). Penyelenggaraannya melalui proses pendampingan perorangan yang peduli, atau petugas pemerintah dan organisasi masyarakat, keluarga yang lebih mampu bergotong royong membantu keluarga yang lemah dengan cara memberikan tambahan wawasan, pengetahuan serta kemampuan dalam melaksanakan fungsi keluarga sehingga keluarga yang terbelakang mampu memberdayakan keluarganya. Tujuannya adalah (1) Disegarkannya kembali modal sosial berupa kehidupan gotong royong dalam masyarakat untuk peduli dan saling membantu dalam proses pemberdayaan atau bersama-sama memecahkan masalah kehidupan sehingga keluarga yang tertinggal dapat memenuhi kebutuhan dan membangun keluarga sejahtera secara mandiri; (2) Tumbuh dan berkembangnya lembaga dalam masyarakat dengan terorganisasinya infrastruktur sosial yang sudah ada, yaitu keluarga, yang memiliki kegiatan atau usaha bersama yang akan menjadi perekat atau kohesi sosial, sehingga tercipta suatu kehidupan yang rukun dan dinamis untuk mencapai kesejahteraan bersama; dan (3) Terbentuknya wadah organisasi atau wahana partisipasi sosial, di mana setiap keluarga dapat memberi dan menerima pembaharuan yang bisa membantu proses pemantapan fungsi-fungsi keluarga sehingga mampu membangun kehidupan keluarga dengan mulus dan sejuk.

Kualitas hidup dan peran perempuan serta perlindungan anak dipengaruhi oleh terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian, aktifitas lembaga/organisasi yang mengelola pemberdayaan perempuan dan anak masih belum secara optimal berpartisipasi aktif, kritis, dan kontrol sehingga memerlukan inovasi-inovasi baru yang lebih responsif dan relevan terhadap kebutuhan-kebutuhan nyata sesuai perkembangan situasi dan kondisi. Diperlukan pula upaya advokatif dan perubahan pola pikir masyarakat dan lembaga dalam menyikapi kasus-kasus yang terjadi seperti tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Karena itu dalam usaha mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, kesejahteraan dan perlindungan anak dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat, bebangsa dan bernegara tantangan yang dihadapi antara lain: (a) meningkatkan kualitas hidup perempuan; (b) memajukan tingkat keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan politik; (c) menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan; (d) meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak; (e) meningkatkan pelaksanaan dan memperkuat kelembagaan pengarusutamaan gender; dan (f) meningkatkan partisipasi masyarakat.

2.2.1.7 Kesejahteraan Sosial

Untuk meningkatkan derajat hidup layak, tantangan yang dihadapi adalah penurunan angka kemiskinan yang harus diupayakan melalui peningkatan pendapatan per kapita dengan didukung oleh berbagai program penanggulangan kemiskinan yang tepat sehingga mengurangi beban keluarga miskin dalam memenuhi kebutuhan minimalnya. Ketepatan sasaran program menjadi syarat mutlak bagi keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan. Disamping itu juga secara terus-menerus mengimplementasikan strategi pengentasan kemiskinan seperti: (1) peningkatan pendapatan melalui peningkatan produktifitas masyarakat miskin, (2) pengurangan pengeluaran beban biaya gakin untuk memenuhi kebutuhan dasar, (3) peningkatan kesempatan kerja dan berusaha, (4) pemberdayaan masyarakat, (5) peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, serta (6) perlindungan sosial dan kesempatan memperoleh jaminan sosial.

Pada sisi lain, menyimak beberapa kendala yang terjadi dalam penanganan PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) selama ini, dalam wacana ke depannya dipandang perlu memformulasikan kembali pendekatan dalam upaya menangani PMKS secara lebih komprehensif dan terfokus. Tantangan yang dihadapinya adalah mereaktualisasi dan merevitalisasi substansi pemberdayaan PMKS yang berorientasi kepada peningkatan kemampuan masyarakat (capacity building) dan peningkatan kelembagaan (institutional building) dalam wadah pendekatan komunitas (community development approach) dengan menciptakan iklim kondusif bagi perkembangan kemandiriannya. Pendekatan-pendekatan yang responsif dan aspiratif yang perlu dilakukan mencakup:

  1. Strategi untuk mengatasi masalah PMKS hendaknya diarahkan untuk mengikis budaya negatif seperti apatis, apolitis, fatalistis, ketidakberdayaan dan lain-lain. Bila budaya ini tidak dihilangkan, masalah PMKS sulit ditanggulangi. Selain itu hambatan-hambatan yang sifatnya struktural dan politis juga harus dihilangkan.
  2. Untuk meningkatkan kemampuan dan mendorong produktivitas, kalangan PMKS harus dibekali kemampuan dasar untuk meningkatkan pendapatan melalui perbaikan kesehatan, pendidikan, ketrampilan usaha, teknologi dan jaringan usaha.
  3. Melibatkan komunitas PMKS dalam seluruh proses penanganan PMKS. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi hingga pengambilan keputusan.
  4. PMKS adalah kelompok yang mampu membangun dirinya sendiri jika pemerintah mau memberi kebebasan untuk mengatur dirinya. Tidak dapat dilupakan pula bahwa upaya memperbaiki kesejahteraan sosial masyarakat secara preventif pun harus dilakukan dari komponen terkecil yakni keluarga, melalui pembinaan keluarga kecil dan sejahtera.
  5. Dalam era otonomi daerah yang tengah berlangsung saat ini, peran, wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah semakin besar, sehingga perencanaan dan perumusan kebijakan, strategi dan program pemberdayaan PMKS merupakan konskuensi dari pemerintah daerah yang apabila dipandang perlu selanjutnya dituangkan dalam bentuk peraturan daerah yang ditetapkan bersama-sama dengan DPRD. Dengan dukungan DPRD, maka program pemberdayaan PMKS akan memperoleh dukungan dana yang cukup dari APBD serta kebijakan yang diambil selalu berpihak dan langsung menyentuh kelompok PMKS.

2.2.1.8 Pemuda dan Olah Raga

Di bidang pemuda dan olahraga, selayaknyalah apabila para pemuda ditempatkan dalam posisi yang strategis. Ini mengingat pemuda sebagai generasi penerus yang diharapkan nantinya dapat mewarisi kepemimpinan di daerah harus dibina dan dipersiapkan baik yang menyangkut kapasitas materiil maupun spirituilnya. Tantangan yang dihadapi dalam rentang 20 tahun ke depan meliputi: (a) Mewujudkan kebijakan kepemudaan yang serasi di berbagai bidang pembangunan; (b) Meningkatkan pendidikan dan ketrampilan bagi pemuda; (c) Meningkatkan kewirausahaan, kepeloporan, dan kepemimpinan bagi pemuda; (d) Melindungi segenap generasi muda dari masalah penyalahgunaan NAPZA, minuman keras, penyebaran penyakit HIV/AIDS, dan penyakit menular seksual di kalangan pemuda; (e) Mewujudkan kebijakan dan manajemen olahraga dalam upaya mewujudkan penataan sistem pembinaan dan pengembangan olahraga secara terpadu dan berkelanjutan termasuk landasan hukum yang mendukung; (f) Meningkatkan budaya dan prestasi olahraga secara berjenjang termasuk pemanduan bakat, pembibitan dan pengembangan bakat; (g) Memberdayakan dan mengembangkan iptek dalam pembangunan olahraga; (h) Meningkatkan pemberdayaan organisasi olahraga; dan (i) Meningkatkan kemitraan antara pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha dalam mendukung pembangunan olahraga.

2.2.2 Ekonomi

2.2.2.1 Kondisi Makro Ekonomi

Implementasi Otonomi Daerah tidak hanya berarti penyerahan hak dan kewajiban yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengelola rumah tangganya sendiri, melainkan juga berkonsekuensi bahwa daerah dituntut untuk mampu secara mandiri mengelola pembangunan daerah secara efisien dan efektif dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan seoptimal mungkin potensi daerah dan sumber daya yang ada. Hal ini tentunya disadari atau tidak akan membawa dampak dengan semakin sengitnya persaingan antar daerah dalam pembangunan daerah termasuk dalam pengelolaan sumber-sumber perekonomian daerah.

Di samping itu daerah juga dituntut untuk mampu menghadapi perkembangan dunia global yang ditandai dengan tingkat persaingan perdagangan dunia yang semakin tajam, dimana produk-produk suatu negara/ daerah bisa masuk dalam area perdagangan yang bebas tanpa batas. Hal ini tentunya menjadi ancaman bagi produk-produk daerah jika tidak diantisasipasi dengan sungguh-sungguh dengan upaya peningkatan nilai tambah produk-produk unggulan daerah.

2.2.2.2 Kondisi Mikro Ekonomi

Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai lembaga ekonomi diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat sekitarnya. Selain itu pelaku ekonomi lokal mampu melihat peluang yang ada. Hal ini dapat mengurangi kemungkinan masuknya pelaku ekonomi dari wilayah lain yang memanfaatkan Kota Magelang sebagai pasarnya yang pada akhirnya akan menambah berat persaingan.

Koperasi dan UMKM diharapkan dapat menempatkan masyarakat lokal sebagai produsen dan mendatangkan orang luar sebagai konsumen. Untuk itu pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan harus ditingkatkan secara kreatif dan inovatif melakukan rancang bangun teknologi tepat guna, meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi, meningkatkan nilai tambah sehingga mampu menambah daya saing produk unggulan daerah.

2.2.2.3 Ketenagakerjaan

Angkatan kerja pada tahun 2005 tercatat 19.35% tidak/ belum sekolah, 25.56% SD, 19.75% SMP, 28.46% SMA dan 6.87% PT. Angka tersebut menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kota Magelang berpendidikan SLTA. Hal ini merupakan modal yang cukup mendukung pengisian formasi kesempatan kerja yang ada. Namun tingginya angka pengangguran perlu disikapi dengan senantiasa meningkatkan kualitas pendidikan dan ketrampilan penduduk Kota Magelang yang merupakan modal dasar pembangunan.

Selain itu industri besar/ menengah/ kecil perlu ditumbuhkan agar mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak. Sentra industri yang ada merupakan potensi yang dimiliki Kota Magelang untuk menarik minat investor guna menanamkan modalnya. Dengan meningkatnya investor diharapkan akan meningkatkan lapangan kerja/ usaha sehingga pertumbuhan angkatan kerja dapat diimbangi dengan perluasan kesempatan kerja.

2.2.2.4 Investasi

Perkembangan perekonomian Kota Magelang akan mengalami peningkatan yang cukup signifikan, jika sumber pertumbuhan ekonomi makin kokoh dengan ditopang oleh faktor investasi dan ekspor, menggantikan faktor konsumsi. Peningkatan investasi dan kegiatan perdagangan daerah sangat tergantung pada adanya kebijakan daerah dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif di daerah, disamping keberanian daerah dalam memberikan insentif kepada investor berupa kemudahan-kemudahan dalam berinvestasi di Kota Magelang serta peningkatan fasilitasi kerjasama strategis antar Kabupaten/Kota, serta perbaikan produk-produk hukum yang berkaitan dengan pengembangan investasi daerah. Layanan perijinan yang kurang responsif terhadap kemudahan berinvestasi merupakan kendala besar bagi perekonomian daerah. Oleh karena itu, berbagai kendala dan tantangan tersebut harus dieliminir untuk direkayasa dan dikelola menjadi peluang dan kesempatan yang terbuka bagi kemajuan ekonomi daerah. Investasi daerah akan lebih didominasi oleh investasi baru dari pada perluasan investasi yang sudah ada.

2.2.2.5 Stabilitas Perekonomian

Stabilitas ekonomi Kota Magelang dapat terus membaik jika kita dapat menjaga secara hati-hati dan waspada karena lingkungan perekonomian global terus berubah secara cepat dan cenderung tidak ramah. Dengan pengelolaan yang makin baik berbagai faktor ekonomi makro tersebut maka basis pertumbuhan ekonomi Kota Magelang tidak terganggu dan momentum stabilitas ekonomi dapat tetap terjaga.

2.2.3 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

2.2.3.1 Penelitian dan Pengembangan

Fenomena alam yang terjadi dalam kurun dasa warsa ini antara lain terjadinya bencana alam, perubahan iklim, pemanasan global dan lain-lain adalah multiplier effect dari perubahan-perubahan perilaku manusia. Perubahan-perubahan juga sangat terasa terjadi pada tataran ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya. Secara keseluruhan perubahan-perubahan tersebut saling kait mengkait satu sama lain hingga kepada perubahan tatanan, paradigma dan cara berfikir manusia. Dengan iptek seharusnya manusia bisa melihat, menyikapi dan mengantisipasi perubahan ini agar tetap bisa eksis dalam kehidupan dan pemenuhan kebutuhannya. Salah satu upaya penting yang diperlukan adalah teknologi tepat guna sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan semakin pesatnya kemajuan iptek global, maka inovasi-inovasi yang unggul harus terus bermunculan untuk dapat memenangkan persaingan.

Sebagai kota kecil yang memiliki keterbatasan sumber daya alam, Kota Magelang menyadari pentingnya kualitas sumber daya manusia guna kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya. Sarana prasarana infrastruktur yang berkaitan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia perlu terus dibenahi. Untuk menumbuhkan penguasaan, pemanfaatan dan kemajuan Ilmu pengetahuan dan Teknologi (Iptek) diperlukan perubahan paradigma menuju wawasan dan budaya Iptek yang mempunyai penalaran obyektif, rasional, maju, unggul dan mandiri. Pola pikir masyarakat perlu diubah menjadi lebih suka mencipta daripada sekedar memakai, lebih suka belajar dan berkreasi dari sekedar menggunakan teknologi yang ada.

Kebutuhan akan iptek harus disadari semua pihak, iptek harus dipelajari, ditemukan, dikembangkan dan diterapkan. Hasil karya ilmiah dan hasil penelitian dibidang teknologi perlu mendapat perlindungan hukum dan dihargai sebagaimana sumbangsihnya terhadap kesejahteraan. Perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dimulai dari upaya pemberian pemahaman tentang HKI kepada masyarakat dan penemu maupun fasilitasi dalam pengurusannya. Hal ini ditujukan untuk lebih memacu motivasi masyarakat dalam berkarya.

Pembangunan iptek membutuhkan kerjasama yang sinergis antara pemerintah, swasta, dunia pendidikan, para ilmuwan dan masyarakat pada umumnya. Untuk itu diperlukan suatu sistem terpadu dalam pengembangan iptek, seperti Konsorsium ataupun Jaringan Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Iptek. Permasalahan capacity building menjadi tantangan yang harus dikerjakan dan direkomendasikan pada pihak-pihak yang kompeten.

2.2.3.2 Teknologi Informasi

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat di satu sisi mendatangkan banyak keuntungan seperti kemudahan dalam mengakses informasi dan pengetahuan, tetapi di sisi lain menimbulkan dampak yang merugikan. Hal ini disebabkan tidak semua informasi yang ada adalah benar, sehingga menimbulkan distorsi informasi. Disamping itu banyak informasi dari situs-situs yang tidak mendidik, bahkan menyesatkan yang menjadi lawan pembentukan moral bangsa yang beriman dan bertaqwa. Untuk mengantisipasi hal itu diperlukan tindakan-tindakan preventif agar jangan sampai generasi muda menjadi korban perkembangan dan kemajuan iptek global, tetapi justru sebaliknya harus mengambil manfaat seoptimal mungkin untuk digunakan dalam pengembangan budaya dan peradaban yang berguna bagi kemaslahatan umum.

Dalam kerangka makro, sarana prasarana informasi dan komunikasi secara fisik (hardware), modul/program (software), hingga ke operator (brainware) harus dipenuhi oleh pemerintah dalam rangka pelayanan publik, sehingga akan semakin memudahkan dan mempercepat akses masyarakat penggunanya. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemberlakukan mekanisme kerja yang berbasis ICT (Information and Communication Technology) selayaknya diaplikasikan dalam jaringan on-line antar Satuan Kerja Perangkat Daerah. Disamping itu perlu dibuka akses yang luas bagi masyarakat untuk pengembangan informasi, ilmu pengetahuan, media usaha (promosi), kolaborasi, dan integrasi di tingkat lokal, regional, nasional, maupun internasional melalui fasilitas internet.

2.2.4 Sarana dan Prasarana

Tantangan yang dihadapi dalam penyediaan sarana prasarana Kota Magelang adalah bagaimana pada waktu 20 tahun yang akan datang menjadikan Magelang sebagai kota yang layak huni. Bertambahnya penduduk Kota Magelang pada 20 tahun yang akan datang dan juga diprediksikan bahwa pada saat itu lebih dari 50% penduduk Indonesia akan menempati kawasan perkotaan akan menimbulkan permasalahan yang sangat kompleks bagi pengelolaan kawasan perkotaan (urban management) di Kota Magelang. Apabila kedua hal tersebut tidak diantisipasi sejak dini maka Kota Magelang akan menjadi kota yang tidak layak huni. Untuk itu maka sarana dan prasarana perkotaan dalam waktu 20 tahun mendatang harus sudah direncanakan agar mampu melayani penduduk secara menyeluruh, yang meliputi aspek persebaran sarana prasarana serta peningkatan kualitas dan kuantitasnya.

2.2.4.1 Pendidikan

Pertumbuhan dan perkembangan kota yang diiringi dengan semakin pesatnya pembangunan menuju era globalisasi memberikan tantangan masa depan dunia pendidikan dalam peningkatan mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan daya saing secara nasional bahkan internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Terlebih bahwa Pendidikan adalah hak setiap warga negara dan program wajib belajar telah ditetapkan untuk dilaksanakan dalam jenjang Pendidikan Dasar 9 (sembilan) tahun. Hal ini berarti bahwa pemerintah Kota Magelang memerlukan kesiapan untuk:

  1. Peningkatan kualitas tenaga pendidik dan kependidikan
  2. Peningkatan kualitas proses belajar mengajar
  3. Peningkatan kuantitas dan kualitas sarana prasarana pendidikan

Peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan secara bertahap sangat perlu dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam Bab VIII pasal 42 tentang Standar Sarana Prasarana, diamanatkan bahwa:

  1. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan
  2. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Standar sarana prasarana lebih lanjut diuraikan dalam pasal 43, 44, 45, 46, 47, dan pasal 48.

Tantangan dunia pendidikan yang menuntut daya saing peserta didik menuntut pula realisasi penyelenggaraan pendidikan yang bertaraf internasional, sehingga standart sarana prasarana yang disediakan harus diupayakan untuk selalu ditingkatkan dengan mengacu kepada standar pendidikan salah satu negara maju yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di forum internasional.

2.2.4.6 Rekreasi dan Olah Raga

Tantangan sarana prasarana Rekreasi dan Olah Raga harus ditindak lanjuti dengan maksud untuk meningkatkan daya tarik Kota Magelang sebagai Kota Jasa yang maju mandiri dan sejahtera sehingga mampu menjadi tujuan masyarakat lokal, regional, bahkan nasional untuk berekreasi.

Sebagai kota yang layak huni harus dikaitkan dengan keindahan kota yang tercipta dari pengelolaan taman-taman kota serta penataan vegetasi kota. Aspek ini juga terkait erat dengan penyediaan ruang terbuka hijau kota. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana mempertahankan keberadaan taman-taman kota serta bagaimana meningkatkan upaya pemeliharaan taman-taman kota agar memenuhi kriteria keindahan. Dengan hadirnya aspek keindahan kota maka akan membantu upaya agar Kota Magelang tetap menjadi suatu kota yang layak huni.

Kota Magelang telah memiliki fasilitas rekreasi yang berskala regional nasional yaitu Taman Kyai Langgeng, sedangkan yang berskala kota telah mampu menjadi tujuan wisata masyarakat lokal yaitu Taman Bada’an dan Kawasan Aloon-Aloon. Kenyamanan fasilitas rekreasi sangat diperlukan, karena dengan rekreasi akan menyegarkan pikiran masyarakat yang dapat diharapkan akan berdampak positif bagi kesehatan masyarakat.

2.2.4.6.1 Taman Badaan dan Kawasan Aloon-Aloon

Sebagai fasilitas rekreasi yang mudah dan murah sangat memerlukan penataan dalam hal:

  1. “Garden Furniture” antara lain seperti kursi-kursi taman, pot-pot bunga, termasuk fasilitas bermain anak-anak yang keberadaannya harus diperhitungkan dengan luasan “open space” tanpa menghilangkan ciri khas masing-masing, seperti patung badak di taman Badaan serta Patung Kuda dengan Pangeran Diponegoro di Aloon-Aloon.
  2. Prasarana jaringan air limbah terutama yang berasal dari para pedagang yang harus ditata sedemikian rupa agar air limbah yang dihasilkan tidak mengalir ke areal taman
  3. Penataan Pedagang kaki Lima agar keberadaannya dapat menjadi fasilitas pendukung namun kebersihan dan keindahan taman tetap terjaga.

Khusus untuk kawasan Aloon-Aloon, bahwa penataan yang harus dilaksanakan sangat perlu memperhatikan fungsi yang bukan saja sebagai tempat rekreasi keluarga namun juga menjadi ruang bagi pelaksanaan event-event publik dan pemerintah dengan skala lokal maupun regional.

2.2.4.6.2 Taman Kyai Langgeng

Beberapa hal yang perlu dilaksanakan untuk menghadapi tantangan terkait sarana prasarana di Taman Kyai Langgeng adalah:

  1. Pemeliharaan peningkatan jaringan jalan di dalam areal taman
  2. Penambahan, peningkatan, dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas pelayanan
  3. Penambahan, peningkatan, dan pemeliharaan fasilitas pelayanan Khas Taman Kyai Langeng seperti tanaman-tanaman dan hewan-hewan langka, serta fasilitas pelayanan Desa Buku

Dalam aspek Olah Raga, tantangan yang dihadapi adalah kebutuhan fasilitas Olah Raga Skala Regional-Nasional. Hal tersebut mendorong percepatan realisasi rencana Pembangunan dan Pengembangan kawasan GOR Samapta sebagaimana studi kelayakan yang telah dilaksanakan pada tahun 2002.

2.2.5 Politik

2.2.5.1 Kehidupan Berpolitik

Tantangan terberat dalam kurun waktu 20 tahun mendatang dalam pembangunan politik di Kota Magelang adalah menjaga proses konsolidasi demokrasi secara berkelanjutan. Dalam menjaga momentum demokrasi tersebut, tantangan yang akan dihadapi adalah mengefektifkan struktur politik, menyempurnakan proses politik, dan mengembangkan budaya politik yang lebih demokratis agar demokrasi berjalan bersamaan dan berkelanjutan sehingga sasaran tercapainya demokrasi yang bersifat prosedural dan substansial dapat tercapai. Dalam meningkatkan kesadaran politik masyarakat maka internalisasi dan diseminasi nilai-nilai demokrasi ditransmisikan sesuai dengan koridor-koridor yang mengacu kepada etika dan moral politik melalui afirmasi dan advokasi terhadap hak-hak dan kewajibannya. Partisipasi politik yang bersifat otonom akan tumbuh apabila masyarakat diberi kebebasan dan tidak diiming-imingi uang/materi atau dimobilisasi ketika harus menentukan pilihannya. Peran strategis ini difasilitasi oleh pemerintah dan dilaksanakan bersama-sama dengan lembaga-lembaga demokrasi lainnya.

Dalam proses mewujudkan demokrasi di daerah tidak dapat dilupakan adanya tantangan terhadap perlunya pengembangan dan pemantapan budaya politik demokrasi berdasarkan nilai-nilai etika dan moral Pancasila dan UUD 1945 yang menggunakan tolok ukur sebagai berikut:

  1. Meningkatnya orientasi kebangsaan pelaku-pelaku politik dan konstituen yang terbangun dalam paradigma ideologi Pancasila dan NKRI sebagai titik tolak kejuangan politik;
  2. Terwujudnya konsensus etika politik pada kultur kebangsaan;
  3. Tumbuhnya kesadaran kritis kalangan pelaku-pelaku politik dan pejabat publik bahwa keteladanan dalam sikap moralitas dan budi pekerti luhur sebagai kebutuhan;
  4. Tumbuhnya kebiasaan etika menyampaikan sikap/gagasan; dan
  5. Meningkatnya orientasi dan wawasan nusantara di kalangan pelaku-pelaku politik, sehingga daya kapasitasnya dapat diperbaiki.

Tantangan demokrasi lainnya adalah masih belum kuatnya masyarakat madani (civil society), baik dari segi ekonomi maupun pendidikan. Oleh karena itu, dalam kurun waktu dua puluh tahun ke depan, pendidikan politik akan merupakan alat transformasi sosial menuju demokrasi. Masyarakat madani yang kuat sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat dalam merespons dan memahami dinamika pasar serta saling berinteraksi antara pemerintah daerah, masyarakat sipil, dan pasar untuk mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal. Kemandirian asosiasi-asosiasi sosial kemasyarakatan dan kelompok kepentingan untuk berperan baik sebagai counterpart pemerintah ataupun mediator dan advokator masyarakat diperlukan untuk mendorong akselerasi proses konsolidasi demokrasi sesuai dengan mekanisme fungsi kontrol dalam hubungan kekuasaan yang seimbang.

Bersamaan dengan itu, tantangan dalam menjaga proses konsolidasi demokrasi juga muncul dalam hal mendorong terbangunnya partai politik yang mandiri dan memiliki kapasitas untuk melaksanakan pendidikan politik rakyat, mengagregasi dan menyalurkan aspirasi politik rakyat, serta menyeleksi pimpinan politik yang akan mengelola penyelenggaraan pemerintahan secara profesional. Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap judicial review atas Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa ”dalam perekrutan kepemimpinan di daerah dibuka peluang calon independen di luar partai politik”, menjadi tantangan tersendiri bagi upaya perwujudan demokratisasi di tingkat daerah.

Konsolidasi demokrasi akan dihadapkan pula pada tantangan bagaimana menempatkan peranan pers sebagai salah satu pilar dari perkembangan demokrasi di tingkat daerah. Adanya kebebasan pers/media massa akan memudahkan akses masyarakat terhadap informasi yang bebas dan terbuka, dalam banyak hal, akan lebih memudahkan kontrol atas pemenuhan kepentingan publik. Peran media massa yang bebas sangat menentukan dalam proses menemukan, mencegah, mempublikasikan berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan dan korupsi.

2.2.5.2 Partisipasi Politik

Konsolidasi demokrasi memerlukan dukungan seluruh masyarakat karenanya harus diteguhkan kembali makna pentingnya persatuan nasional dengan memperhatikan berbagai keanekaragaman latar belakang dan kondisi. Implementasi desentralisasi dan otonomi daerah difokuskan kepada upaya peningkatan kesejahteraan dan perwujudan keadilan bagi masyarakat dengan memadukan antara semangat dalam upaya memperkuat ikatan NKRI dengan kepentingan untuk tetap menjaga berkembangnya iklim demokrasi di tingkat lokal. Melalui keleluasaan dalam menggerakkan dan mengolah segenap sumber daya yang dimilikinya, Kota Magelang mempunyai kesempatan, peluang, dan tantangan untuk saling bersaing dan atau berkolaborasi dengan kabupaten/kota lainnya baik dalam skala regional, nasional maupun internasional. Ini semua memerlukan kebijakan pemerintah yang reformis dan visioner dengan dukungan aparat birokrasi (lembaga eksekutif) yang memenuhi syarat profesionalisme, efektivitas, dan mandiri serta mengedepankan prinsip-prinsip good governance and clean government serta bebas KKN dalam praksis sehari-harinya. Peningkatan kualitas kinerja aparat pemerintah sebagai pelayan publik (public servicer) sekaligus fasilitator dan mediator bagi lembaga-lembaga demokrasi dibutuhkan guna mendukung proses konsolidasi demokrasi yang tengah berlangsung.

Disamping itu, terciptanya efektivitas sistem politik daerah tak pelak menjadi tantangan utama dalam mewujudkan demokrasi yang substansial. Sistem politik akan efektif apabila mampu mengoptimalkan penyelenggaraan fungsi-fungsi politik seperti pendidikan politik, mempertemukan kepentingan yang aneka ragam dan nyata-nyata hidup dalam masyarakat, agregasi kepentingan, seleksi kepemimpinan, dan komunikasi politik secara signifikan. Selain itu mampu pula mengimplementasikan kapabilitas ekstratif, distributif, regulatif, simbolik, dan responsif yang dimilikinya dengan muara akhir kepada peningkatan keadilan dan kesejahteran masyarakat. Dalam kaitan ini harus diwujudkan komitmen politik yang tegas terhadap pentingnya kebebasan media masa, keleluasaan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat setiap warganegara berdasarkan aspirasi politiknya masing-masing. Peran pemangku kepentingan (stakeholders) dilibatkan secara partisipatoris dan emansipatoris dalam proses pengambilan kebijakan publik. Tantangan lainnya adalah meningkatkan peran dan fungsi lembaga legislatif yang meliputi legislasi, budgeting, dan pengawasan secara berkelanjutan melalui peningkatan kapasitas kelembagaannya (institution capacity building) sesuai dengan lingkungan strategis yang melingkupinya. Dengan begitu daya respons dan daya tanggap terhadap tuntutan, kebutuhan dan kepentingan masyarakat menjadi meningkat sehingga tingkat keterwakilan/representasi politik dan kredibilitasnya akan semakin tinggi pula. Sebagai bentuk akuntabilitas publik maka kontrak-kontrak politik dengan konstituen yang telah terbangun benar-benar diakomodasikan, diartikulasikan, dan diimplementasikan melalui inisiatif dan diskresi yang dimilikinya untuk diformulasikan dalam suatu kebijakan publik yang memihak rakyat.

2.2.6 Keamanan dan Ketertiban

2.2.6.1 Stabilitas keamanan dan ketertiban

Tantangan utama keamanan dan ketertiban di Kota Magelang dalam kurun waktu 20 tahun ke depan adalah mempertahankan stabilitas daerah yang telah tercipta selama ini dengan disesuaikan dengan perkembangan tingkat kecanggihan metode dan alat teknologi yang diperkirakan akan makin meningkat pada masa mendatang. Potensi dan ancaman tersebut adalah terorisme, kejahatan perbankan, kejahatan narkoba yang hingga kini masih seperti fenomena gunung es, konflik dan kerawanan sosial yang menjurus kepada kekerasan dan anarkisme, serta berkembangnya variasi tindak kriminalitas konvensional. Tantangan lain dalam pembangunan keamanan dan ketertiban adalah meningkatkan profesionalisme aparat keamanan agar mampu melindungi dan mengayomi masyarakat, mencegah tindak kejahatan, dan menuntaskan tindak kriminalitas. Selain itu, juga perlu membangun kapabilitas lembaga intelijen dan kontraintelijen tingkat daerah dalam kerangka penciptaan keamanan nasional.

2.2.6.2 Antisipatif dan preventif

Sementara itu, tantangan yang harus dihadapi dalam upaya peningkatan keamanaan dan kenyamanan lingkungan, termasuk pemberantasan penyakit masyarakat (pekat) adalah dengan melakukan intensifikasi upaya pemeliharaan kamtrantibmas dan pencegahan tindak kriminal yang didukung oleh pemberdayaan masyarakat untuk menjaga ketertiban dan keamanan. Dalam konteks ini, diperlukan langkah guna meningkatkan profesionalisme serta menyatupadukan komitmen untuk membangun pola pikir, pola sikap, dan pola tindak kesiap-siagaan dan kewaspadaan dari SDM aparat kamtibmas, satlinmas, dan aparat pendukung lainnya dengan disertai peningkatan kelengkapan dan kualitas peralatan kerja yang diperlukan sesuai dengan tuntutan perkembangan situasi dan kondisi yang ada. Tantangan lainnya adalah melakukan perkuatan dan revitalisasi sistem keamanan lingkungan (Siskamling) dengan pola bottom-up, sebagai salah satu upaya untuk memperkokoh operasionalisasi sistem pertahanan keamanan rakyat semesta, dalam kaitan ini termasuk di dalamnya adalah penyiapan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana.

Dalam kerangka menciptakan kepastian dan tertib hukum (Law Order), upaya preventif melalui antisipasi dini dan cegah tangkal menjadi tantangan tersendiri yang harus diposisikan sebagai prioritas utama disamping penindakan melalui jalur hukum bagi kasus-kasus kriminalitas dan gangguan keamanan yang mengancam keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Terhadap masalah-masalah yang bersifat pelanggaran ketertiban dan ketidakdisiplinan harus diambil tindakan penegakan hukum dan operasi yustisi (penertiban) secara rutin dan periodik yang disertai dengan langkah-langkah alternatif pemecahan masalah lewat pembinaan dan pemberdayaan secara konstruktif dengan melibatkan berbagai unsur dan lembaga terkait. Pada praksisnya, semua tindakan yang diambil baik yang bersifat preventif, represif, dan kuratif itu tetap harus mengacu serta berpedoman kepada prinsip bahwa semua orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam perlakuannya di depan hukum. Ini semua perlu ditempuh sebagai salah satu langkah dalam upaya menegakkan supremasi hukum di Kota Magelang.

2.2.6.3 Peran Aparat dan Partisipasi Masyarakat

Pada sisi yang lain, terjadinya kemerosotan dan banalisasi pemahaman wawasan kebangsaan menjadi tantangan yang serius dalam waktu 20 tahun mendatang. Hal ini karena akan menghambat berkembangnya kesadaran terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dekadensi dan krisis terhadap nilai-nilai nasionalisme dan spirit kebangsaan harus dieliminasi atau setidaknya direduksi melalui perkuatan persatuan dan kesatuan bangsa serta penanaman nilai-nilai luhur bangsa yang bersendikan ideologi Pancasila dan UUD 1945 secara substansial. Metode yang dilakukan haruslah dikemas dalam suasana dialogis, edukatif, atraktif, derivatif, dan variatif sehingga dimungkinkan munculnya diskresi, pencerdasan, dan pencerahan dalam memahami nilai-nilai ideologi bangsa sehingga tidak terkesan monoton dan bersifat indoktrinasi.

Tantangan lainnya adalah perlunya penyelenggaraan pendidikan multikultural dalam semua jalur pendidikan yang disertai dengan perkuatan dan internalisasi nilai-nilai wawasan kebangsaan secara berkelanjutan (sustainable) sekaligus didukung adanya fasilitasi dan mediasi berbagai wacana dialog bagi peningkatan kesadaran mengenai pentingnya memelihara persatuan bangsa. Pada kerangka makro, upaya-upaya itu sebagai bagian dalam pembangunan dan pembentukan watak dan jati diri bangsa (nation and character building) yang utamanya ditujukan kepada kalangan generasi muda, sebagai penerus estafet kepemimpinan bangsa, tanpa mengesampingkan lapisan masyarakat lainnya.

Dalam perspektif yang lebih luas, tantangan dalam pembangunan keamanan dan ketertiban adalah mengurangi kesenjangan (gap) sosial ekonomi dalam masyarakat yang acapkali menjadi sumber perselisihan dan konflik sosial yang bersifat horizontal. Disamping itu juga mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran yang dari waktu ke waktu cenderung meningkat. Pada praktiknya upaya ini sudah pasti harus melibatkan banyak unsur dari berbagai sektor terkait dalam rangkaian kebijakan yang lebih kompleks. Berkaitan dengan hal tersebut, tidak bisa dilepaskan adanya suatu upaya yang berkesinambungan dalam menumbuhkembangkan kesadaran budaya penghormatan nilai-nilai HAM, nilai-nilai persamaan, anti kekerasan, kompetisi yang sehat dan fair, kebebasan yang bertanggungjawab, serta nilai-nilai toleransi melalui berbagai wacana dan media. Perlu pula dilakukan langkah penggalian dan revitalisasi budaya kearifan lokal sebagai nilai-nilai instrumental yang bisa dijadikan motor penggerak bermasyarakat dan berbangsa, seperti kejujuran, kerukunan, gotong royong, produktif, dan sebagainya. Dengan demikian diharapkan dapat tumbuh dan berkembang budaya warga yang bermoral, sopan, taat hukum, serta bisa membangkitkan dan menggerakkan potensi kekuatan spiritual dan etos kerja bangsa (budaya unggul bangsa) yang merupakan energi positif bangsa dan berkontribusi besar bagi terwujudnya ketahanan bangsa.

2.2.7 Hukum dan Aparatur

2.2.7.1 Pemerintahan Umum

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah ditegaskan bahwa kedudukan daerah otonom merupakan bagian integral dari negara kesatuan Indonesia. Walaupun daerah otonom merupakan badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban mandiri sebagaimana negara sebagai badan hukum, akan tetapi kedudukan (pemerintahan) daerah otonom adalah melaksanakan berbagai kewenangan pemerintahan yang telah didesentralisasikan oleh Pemerintah Pusat, dan kepemilikan kewenangan tersebut tetap berada di tangan Pemerintah Pusat. Sehingga secara teoritis yuridis, pemerintahan daerah merupakan sub sistem dari sistem pemerintahan negara secara keseluruhan. Oleh karena itu, UU 32/2004 merupakan undang-undang yang mengatur bagaimana suatu organisasi pemerintahan negara dijalankan berdasarkan prinsip lokalitas dan kekhasan di daerah masing-masing.

2.2.7.2 Hukum

Proses formulasi peraturan daerah, yang merupakan kebijakan publik di tingkat lokal, dalam penyelenggaraannya masih menghadapi tantangan-tantangan antara lain:

  1. Hak inisiatif lembaga legislatif yang pada hakekatnya merupakan representasi rakyat belum secara optimal benar-benar berkembang, tersalurkan, dan termanifestasikan secara nyata dalam praktik legislasinya.
  2. Perlunya upaya peningkatan kualitas baik dari sisi formil dan materiil produk kebijakan publik di daerah melalui kemasan proses perumusan yang sistematis dan komprehensif dengan melakukan analisis mendalam untuk dituangkan ke dalam draft akademik yang menyangkut latar belakang (setting), pendekatan dan paradigma, teori dan konsep yang relevan, dampak dan faktor eksternalitas, beserta kajian lapangan yang mendetail. Termasuk dalam hal ini adalah dengar pendapat dengan publik atau pakar yang berkompeten (public hearing).
  3. Uji publik terhadap raperda guna mencaritemukan daftar inventaris masalah belum terselenggara secara optimal. Keterlibataan masyarakat madani dalam proses penyusunan kebijakan publik yang menyangkut kepentingan rakyat banyak terkadang masih berjalan sekadar formalitas atau hanya semata-mata sebagai ajang mencari legitimasi informal. Secara substansial, aspirasi masyarakat belum secara nyata terejawantahkan dalam produk-produk hukum daerah, khususnya yang menyangkut pengaturan masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan publik.
  4. Perlu adanya peningkatan kemudahan akses dan perluasan daya jangkau diseminasi kebijakan publik bagi masyarakat terhadap keluaran Peraturan Daerah disamping wahana sosialisasi yang telah dilaksanakan selama ini.
  5. Penetapan skala prioritas pembahasan selain mengacu kepada agenda pemerintah, semestinya juga mengakomodasi­kan masalah-masalah publik yang urgen dan menyangkut hajat kepentingan masyarakat luas serta merupakan upaya peningkatan kesejahteraan sosial yang membutuhkan payung hukum dalam pelaksanaannya di lapangan.

Pada sisi yang lain, karena suatu sistem hukum yang berfungsi dengan baik seharusnya dapat menyokong secara luas pembangunan di bidang sosial, ekonomi dan politik, yaitu dengan melindungi hak serta keamanan individu, dapat dilaksanakannya suatu perjanjian, menjamin amannya hak-hak atas kepemilikan dan dapat dialihkannya hak-hak tersebut, serta menjamin bahwa proses penetapan kebijakan publik sebisa mungkin dilakukan secara transparan, maka peningkatan kualitas dan profesionalisme para penegak hukum yang mengedepankan nilai-nilai kejujuran, etika, dan moral yang tinggi; lembaga peradilan yang berwibawa dan bebas dari mafia pengadilan; perlakuan yang sama bagi semua orang di depan hukum; konsistensi perlindungan HAM bagi mereka yang berperkara; serta tingginya kesadaran hukum masyarakat menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam waktu 20 tahun ke depan.

Tantangan utama yang harus dihadapi dalam 20 tahun ke depan adalah belum optimalnya upaya penegakan hukum dan terjaminnya kepastian hukum. Namun demikian, dalam konteks penegakan supremasi hukum positif yang berlaku secara nasional (di luar Peraturan Daerah) dalam praktiknya sangat ditentukan oleh adanya koordinasi, kerjasama, dan pelibatan aparat penegak hukum yang note bene merupakan instansi vertikal di daerah seperti, Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, sedangkan koordinasi dengan Kodim lebih menyangkut hal-hal yang bersifat pertahanan dan keamanan wilayah, di mana pengaturan kewenanganan dan kelembagaannya merupakan wewenang dari Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, pada tataran pimpinan Muspida (plus) ini tantangan yang harus dihadapi adalah meningkatkan intensitas dan ekstensitas pelaksanaan koordinasi, sekaligus meningkatkan efektivitas dan efisiensinya dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan yang menyangkut pelanggaran hukum dan ancaman atau gangguan terhadap integrasi dan stabilitas daerah.

2.2.7.3 Kelembagaan dan Aparatur

Pembangunan aparatur, sebagaimana yang tengah berlangsung pada tataran nasional saat ini reformasi birokrasi di lingkup jajaran Pemerintah Kota Magelang juga sedang berproses, yang mencakup antara lain upaya pemberantasan KKN, pemantapan otonomi daerah, desentralisasi, dan netralitas pegawai. Walaupun pelaksanaanya sudah ada kemajuan, dalam rentang 20 tahun ke depan masih terdapat tantangan di bidang pendayagunaan aparatur pemerintah yang tidak saja harus dihadapi, tapi juga diselesaikan, yaitu:

  1. Kelembagaan pemerintah masih belum sepenuhnya berdasarkan prinsip organisasi yang efisien dan rasional, sehingga struktur organisai kurang proporsional.
  2. Sistem manajemen kepegawaian belum mampu mendorong peningkatkatan profesionalitas, kompetensi, dan remunerasi yang adil dan layak sesuai dengan tanggungjawab dan beban kerja, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
  3. Sistem dan prosedur kerja di lingkungan aparatur pemerintah belum efisien, efektif, dan berperilaku hemat.
  4. Dalam proporsi tertentu praktik KKN belum sepenuhnya teratasi.
  5. Pelayanan publik belum sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat.
  6. Terabaikannya nilai-nilai etika dan budaya kerja dalam birokrasi sehingga melemahkan disiplin kerja, etos kerja, dan produktivitas kerja.

Reformasi birokrasi memerlukan proses, tahapan waktu, kesinambungan dan keterlibatan semua komponen yang harus saling terkait dan berinteraksi. Reformasi birokrasi dilakukan melalui penyelarasan kegiatan penataan kelembagaan dan sumber daya manusia aparatur (SDM aparatur), penataan ketatalaksanaan secara dinamis, pemantapan sistem pengawasan dan akuntabilitas, peningkatan kualitas pelayanan publik, serta membangun kultur birokrasi baru. Oleh karena itu, pelaksanaan reformasi birokrasi merupakan kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan kehidupan politik, dinamika sosial, dan dunia usaha. Langkah dan upaya yang perlu dilakukan meliputi:

  1. Penataan kelembagaan, guna menjamin terbangunnya organisasi pemerintah yang proporsional dan solid yang mampu memperlancar tujuan organisasi secara efektif dan efisien.
  2. Penataan kepegawaian (SDM aparatur), guna mengembangkan dan melaksanakan sistem manajemen kepegawaian yang berbasis kinerja atau berorientasi kepada sistem merit, yang didukung oleh perencanaan kepegawaian yang terintegrasi dan berkelanjutan, tersedianya sistem remunerasi yang adil dan layak, pembinaan karier, penilaian berdasarkan prestasi kerja, diklat berbasis kompetensi, tata nilai, moral, etika dan etos kerja yang baik, dan perlindungan hukum untuk memacu pegawai negeri sipil agar dapat berprestasi tinggi (profesional).
  3. Efisiensi ketatalaksanaan, sebagai upaya menyempurnakan sistem tatalaksana penyelenggaraan manajemen administrasi pemerintah guna terciptanya efisiensi dan efektivitas tata hubungan kerja dan kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui: penyederhanaan sistem dan prosedur kerja, penyempurnaan administrasi umum pemerintahan dan penyempurnaan sistem pengelolaan sarana kerja aparatur, serta korporatisasi unit pelayanan, penataan dan pengembangan sistem kearsipan.
  4. Peningkatan akuntabilitas aparatur, guna mendorong perangkat daerah dalam mempertanggungjawabkan kinerja pelaksanaan sumber daya organisasi pemerintah dan pelaksanaaan otonomi daerah. Kriteria penilaian akuntabilitas aparatur pemerintah dan sistem akuntabilitas yang sudah disusun perlu dilaksanakan dan dikembangkan secara lebih konkret dan substansial. Membuka peluang bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan umpan balik tentang kinerja aparatur pemerintah. Kinerja aparatur pemerintah harus dipantau bersama-sama instansi terkait juga perlu dievaluasi dan dinilai.
  5. Peningkatan kualitas pelayanan publik, sebagai upaya mewujudkan manajemen pelayanan prima, dalam pengertian produk pelayanan yang cepat, tepat, pasti, efisien, transparan, akuntabel, menjamin rasa aman, nyaman, dan tertib bagi masyarakat.
  6. Peningkatan sistem pengawasan, melalui upaya mengoptimalkan pelaksanan pengawasan penanggulangan dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme di instansi pemerintah harus dilakukan dengan langkah bersama dan tindakan nyata, secara sistematik dan menyeluruh.
  7. Optimalisasi koordinasi program pendayagunaan aparatur pemerintah.

2.2.8 Wilayah dan Tata Ruang

2.2.8.1 Tata Ruang

Tantangan yang dihadapi dalam aspek pengembangan wilayah dan penataan ruang adalah bagaimana mengembangkan Kota Magelang agar mampu mengemban peran dan fungsi sebagai kota jasa pada wilayah yang sangat terbatas yaitu hanya ± 18,12 kilometer persegi. Di sisi lain, pada waktu 20 tahun yang akan datang akan terjadi penambahan jumlah penduduk dan peningkatan jumlah orang yang bekerja di Kota Magelang dalam berbagai sektor. Bertolak dari kondisi tersebut maka permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana mengalokasikan lahan perkotaan secara serasi dan seimbang untuk mewadahi kegiatan perkotaan. Sedangkan disisi lain kebutuhan alokasi lahan terbuka hijau pada kawasan perkotaan harus diakomodasi dalam penataan ruang kota.

Pada bulan April tahun 2007 telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Salah satu aspek yang merupakan tantangan dalam penataan ruang adalah keharusan bagi kawasan perkotaan untuk mengalokasikan minimal 30% dari luas wilayahnya untuk ruang terbuka hijau, yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% ruang terbuka hijau privat. Selain itu sekurang-kurangnya 30% dari daerah aliran sungai (DAS) harus berupa hutan.

Bagi Kota Magelang amanat yang harus dilaksanakan dari undang-undang tersebut merupakan tantangan yang terasa berat, mengingat bahwa luas wilayah administrasi Kota Magelang sangat terbatas, sedangkan disisi lain tuntutan pemanfaatan lahan perkotaan untuk kegiatan komersial akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan peran dan fungsi Kota Magelang sebagai wilayah yang cukup strategis bagi kawasan-kawasan di sekitarnya.

Kondisi tersebut akan menimbulkan konflik kepentingan, yaitu antara kepentingan ekonomis dan kepentingan ekologis. Disatu sisi, dibutuhkan lahan untuk investasi dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi kota, sedangkan disisi lain kepentingan pelestarian ekologi lingkungan perkotaan menuntut adanya konservasi dan preservasi lingkungan yang antara lain berupa mempertahankan keberadaan ruang terbuka hijau perkotaan.

Salah satu contoh lokasi strategis yang diprediksikan akan rawan menimbulkan konflik kepentingan adalah sepenggal lahan dikaki Gunung Tidar, yaitu yang berbatasan dengan Jalan Sudirman. Dari sudut pandang investasi, Jalan Sudirman merupakan lokasi yang banyak diincar para penanam modal yang berkepentingan menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan komersial. Konflik akan muncul apabila pada sisi barat Jalan Sudirman juga dialih fungsikan sebagai area komersial, hal itu terjadi karena pada sisi tersebut akan bersinggungan dengan kaki Gunung Tidar.

Sementara dari sudut pandang perancangan kawasan perkotaan, sepenggal lahan di sisi timur Gunung Tidar merupakan sepenggal lahan yang dapat dipandang sebagai suatu “unreplaceable sight”, karena nilai estetika lahan tersebut yang tidak mungkin tergantikan. Bertolak dari sudut pandang tersebut maka Kawasan Gunung Tidar merupakan kawasan ruang terbuka hijau dan direncanakan untuk tidak dialihfungsikan ke peruntukan lain.

Tantangan yang dihadapi dalam mencapai luasan 30% ruang terbuka hijau adalah bagaimana mempertahankan keberadaan ruang terbuka hijau yang ada serta apabila saat ini belum tercapai luasan tersebut adalah bagaimana mencapai luasan yang diamanatkan. Untuk mengantisipasi tantangan tersebut, maka diperlukan ketegasan sikap dari Pemerintah Kota Magelang bahwa setiap kebijakan pemanfaatan ruang harus konsisten dengan rencana tata ruang yang ada. Rencana tata ruang yang ada telah mengakomodasi kebutuhan ruang terbuka hijau dan disertai dengan upaya untuk mencapainya yang tertuang dalam indikasi program.

Aspek penataan ruang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Untuk membantu kinerja Pemerintah Kota Magelang dalam pengendalian pemanfaatan ruang maka telah dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) yang salah satu tugasnya adalah menjaga pemanfaatan ruang kota agar benar-benar sesuai dengan yang direncanakan.

Undang-undang penataan ruang juga mengamanatkan bahwa pemerintah daerah wajib menyelenggarakan penataan ruang didaerahnya. Untuk mampu dalam menyelenggarakan penataan ruang maka salah satu tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menyediakan sumber daya manusia (SDM) yang memahami aspek penataan ruang. Menjawab tantangan tersebut maka Pemerintah Kota Magelang harus memikirkan langkah-langkah dalam rangka meningkatkan SDM bidang penataan ruang melalui pendidikan dan pelatihan dan menambah jumlah sarjana yang berbasis pendidikan perencanaan kota.

2.2.8.2 Wilayah

Dalam aspek pengembangan wilayah tantangan yang dihadapi adalah bagaimana mengantisipasi kecenderungan perubahan peruntukan lahan dihadapkan pada keterbatasan luas lahan. Berdasarkan pada kecenderungan yang selama ini terjadi, sampai dengan 20 tahun yang akan datang perubahan peruntukan lahan perkotaan yang paling dominan adalah untuk permukiman, perdagangan, dan jasa. Tahun 2015 diprediksikan lebih dari 50% penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan perkotaan. Tekanan arus urbanisasi tersebut akan mengakibatkan munculnya permasalahan dalam penyediaan sarana prasarana permukiman agar tetap memenuhi standar layak huni. Selain itu penambahan sarana sosial, sarana ekonomi dan sarana rekreasi olah raga akan menuntut penyediaan lahan.

Perubahan pola pemanfaatan lahan tersebut akan berdampak pada pergeseran bagian wilayah kota, terutama kawasan pusat kota akan mengalami perubahan yang cukup signifikan. Pada kawasan pusat kota juga akan terjadi optimalisasi pemanfaatan lahan, sehingga kecenderungan yang akan terjadi adalah pola pembangunan secara vertikal. Fenomena tersebut perlu diantisipasi dengan penerapan aturan yang ketat tentang jumlah lantai minimal pada suatu kawasan. Selain itu ketentuan mengenai Koefisien Lantai Dasar (KLD) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) harus disosialisasikan dan diterapkan secara konsekuen.

Pada kurun 20 tahun yang akan datang, peran sub wilayah pembangunan, yang diwujudkan dalam BWK dan SBWK akan mengalami pergeseran. Areal yang meliputi Bagian Wilayah Pusat Kota akan mengalami peningkatan, yang terutama disebabkan oleh meluasnya kegiatan yang bercirikan kegiatan perkotaan, yaitu perdagangan, sosial dan jasa. Kawasan Kebonpolo, tepatnya lokasi yang saat ini dimanfaatkan sebagai sub terminal dan pertokoan, diprediksikan akan berkembang menjadi pusat perdagangan kota, yang dirancang dengan memadukan antara kegiatan perdagangan dan sub terminal. Berkembangnya Kawasan Kebonpolo akan menjadi faktor penarik bagi bergesernya kawasan pusat kota lebih ke arah utara.

Sedangkan Kawasan Sidotopo yang saat ini menempati BWK V, diprediksikan akan menjadi salah satu kawasan strategis yang mengampu kegiatan perdagangan, akomodasi pariwisata dan rekreasi, dengan skala pelayanan regional dan lokal. Pengembangan Kawasan Sidotopo akan berdampak pula pada pengembangan kawasan desa Jambewangi, yang berada diwilayah Kabupaten Magelang. Lahan-lahan pertanian yang sekarang ada di Jambewangi diprediksi akan beralih menjadi lahan-lahan bukan pertanian. Kondisi tersebut akan menguntungkan bagi pengelolaan kawasan perkotaan di Kota Magelang, karena tidak mengurangi alih fungsi lahan di wilayah Kota Magelang.

Berkembangnya Kawasan Sidotopo akan menjadi faktor penyeimbang bagi pertumbuhan kota. Keramaian Kota Magelang yang selama ini masih cenderung terkonsentrasi pada sisi kota bagian tengah dan selatan, pada masa mendatang akan terimbangi dengan perkembangan sisi kota bagian utara.

Mengantisipasi terhadap kecenderungan pertumbuhan kota, dan di sisi lain wilayah Kota Magelang kemungkinan tidak akan bertambah, maka keberadaan taman-taman kota dan ruang-ruang terbuka hijau kota harus mulai direncanakan. Kawasan-kawasan perkotaan di sisi utara kota, atau yang saat ini berada pada BWK V, masih memberikan peluang bagi pembangunan taman-taman rekreasi kota. Apabila pendekatan tersebut tidak dirancang sejak saat ini maka pada masa yang akan datang Kota Magelang akan tumbuh menjadi kota yang tidak layak huni, yang disebabkan oleh kurangnya ruang terbuka hijau di kota.

2.2.8.3 Pertanahan

Perkembangan penggunaan lahan oleh masyarakat yang didukung dengan mekanisme pasar lahan yang kurang terarah dan tidak terkendali, akan mengakibatkan pembangunan yang tidak merata. Oleh karena itu konsolidasi tanah merupakan salah satu instrumen penting untuk mengendalikan mekanisme pasar dalam kaitannya dengan upaya pemanfaatan tanah secara optimal, seimbang dan lestari dengan meningkatkan efisiensi pemanfaatan tanah di wilayah perkotaan. Konsolidasi tanah dapat didefinisikan sebagai suatu model penataan lingkungan yang dari tidak teratur menjadi teratur.

Dalam penerapannya terdapat dua aspek penting yang menjadi sasaran utama konsolidasi tanah yaitu (1) penataan fisik atas penggunan serta (2) pemanfaatan tanah dan penataan terhadap penguasaan dan pemilikan tanah. Dengan demikian diharapkan kawasan kumuh dan penguasaan lahan luas oleh sebagian masyarakat akan terkendalikan. Keterbatasan lahan Kota Magelang akan bukan menjadi permasalahan dengan tertatanya penggunaan lahan oleh masyarakat sehingga pembangunan kota akan lebih merata.

Intervensi permerintah dalam penggunaan lahan oleh masyakat perlu dilakukan demikian juga sebaliknya pemerintah juga perlu memberikan insentif atas penggunaan tanah secara berkelanjutan oleh masyarakat dengan memberikan pengakuan hukum atas kepemilikan dan mempermudah birokasi kepengurusannya. Diharapkan sebelum kurun waktu 20 tahun kedepan berakhir pensertifikatan atas kepemilikan lahan dapat terealisasi keseluruhan.

2.2.9 Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Tantangan yang dihadapi dalam kurun waktu 20 tahun mendatang di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah mewujudkan pembangunan berlandaskan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan suatu daya upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dengan tanpa mengorbankan generasi yang akan datang.

Pembangunan berwawasan lingkungan mengandung makna bahwa pelaksanaan pembangunan harus memperhatikan kondisi lingkungan agar tetap terjaga demi kelangsungan hidup saat ini dan masa yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan menekankan pada keseimbangan antara kepentingan-kepentingan pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan pelestarian lingkungan. Seluruh kegiatan pembangunan harus dilandasi dengan tiga pilar pembangunan yaitu menguntungkan secara ekonomi (economically viable), diterima secara sosial (social acceptable) dan ramah lingkungan (enviromentally sound).

2.2.9.1 Hutan

Perkembangan Kota Magelang yang sangat dinamis dihadapkan pada keterbatasan luas lahan yang dimiliki Kota Magelang berpotensi menyebabkan muncul berbagai konflik kepentingan dalam pemanfaatan lahan.

Konversi lahan pertanian dan ruang terbuka hijau menjadi lahan permukiman dan perekonomian tidak dapat dihindari. Kondisi ini dapat menyebabkan semakin berkurangnya ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai paru-paru kota sehingga menyebabkan degradasi kualitas lingkungan.

Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya yang terpadu untuk mempertahankan dan mengembangkan ruang terbuka hijau, diantaranya dengan: efisiensi pemanfaatan ruang, menciptakan keseimbangan pemanfaatan ruang antara kawasan lindung dengan budi daya, mempertahankan dan merehabilitasi kawasan lindung, pengelolaan hutan kota secara lestari, serta penghijauan pada area-area yang masih memungkinkan seperti sempadan sungai, sepanjang jalan, taman-taman dan pemukiman penduduk.

2.2.9.2 Sumber Daya Air

Semakin bertambahnya jumlah penduduk Kota Magelang dengan berbagai aktivitasnya menyebabkan semakin meningkat pula kebutuhan akan air bersih. Di sisi lain kebutuhan air bersih penduduk Kota Magelang selama ini sebagian besar dipenuhi dari wilayah Kabupaten Magelang.

Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya efisiensi pemanfaatan air bersih dan optimalisasi pemanfaatan potensi sumber daya air yang berada di wilayah Kota Magelang. Pengelolaan sumber daya alam tidak mengenal batas administratif dan wilayah.

Sungai-sungai yang mengalir di Kota Magelang mempunyai hulu dan hilir di luar wilayah Kota Magelang yaitu di wilayah Kabupaten Magelang dan Daerah Istimewa Yogyakarta, demikian pula dengan sumber mata air Tuk Pecah daerah resapan air serta tangkapan air hujan (recharge area) berada di luar wilayah Kota Magelang.

Dengan demikian tantangan ke depan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah pengelolaan secara terpadu antara Pemerintah Kota Magelang dengan Pemerintah Daerah lainnya.

2.2.9.3 Lingkungan Hidup

Letak geografis Kota Magelang yang sangat strategis karena berada di jalur transportasi utama di Provinsi Jawa Tengah disamping menguntungkan dari sisi perkembangan kota dan ekonomi, di sisi lain juga berpotensi menyebabkan semakin meningkat pula resiko pencemaran lingkungan, baik pencemaran udara, tanah, suara maupun air yang berakibat pada degradasi kualitas lingkungan.

Selain itu semakin meningkatnya pendapatan dan perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan, akan berdampak pula pada peningkatan pencemaran lingkungan akibat limbah padat, cair dan gas secara signifikan. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya peningkatan pemanasan global (global warming) ditandai dengan semakin meningkatnya suhu udara, perubahan iklim dan banyaknya bencana alam.

Oleh karena itu tantangan yang dihadapi ke depan adalah bagaimana mengurangi pencemaran sampai pada ambang yang masih diijinkan serta mengurangi peningkatan pemanasan global melalui berbagai upaya dan kerjasama serta komunikasi antara Pemerintah dengan masyarakat dan dunia usaha secara terus-menerus agar tercipta kesadaran dan dukungan bagi terpeliharanya kualitas lingkungan di Kota Magelang.

Dalam upaya mengadapi fenomena perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global diperlukan adaptasi terhadap perubahan iklim khususnya terkait dengan strategi pembangunan sektor kesehatan, pertanian, permukiman dan tata ruang.

Kondisi topografi Kota Magelang yang menyerupai punggung kerbau dengan karakteristik datar pada bagian tengah sedangkan pada sisi Timur dan Barat mempunyai kelerengan yang curam menyebabkan resiko ancaman terhadap bencana alam khususnya tanah longsor. Oleh karena itu diperlukan mitigasi dan adaptasi bencana alam di antaranya dengan pemetaan kawasan rawan bencana, penyusunan rencana tata ruang dengan memperhitungkan kawasan rawan bencana, serta pola pembangunan kota disesuaikan dengan daya dukung lingkungan.

2.2.9.4 Pengelolaan Sampah

Sampah merupakan salah satu permasalahan krusial yang dihadapi kota-kota di Indonesia tak terkecuali Kota Magelang. TPA (Tempat Pembuangan Akhir Sampah) Banyu Urip, apabila tidak dikelola secara baik akan berpotensi menimbulkan konflik karena letaknya berada di luar wilayah Kota Magelang yaitu di Kabupaten Magelang.

Meningkatnya jumlah dan aktifitas penduduk menyebabkan semakin meningkat pula penambahan timbulan sampah yang dihasilkan. Mengingat terbatasnya kapasitas daya tampung dari TPA, diperkirakan TPA tidak akan mampu lagi menampung sampah atau dapat dikatakan TPA habis umur pemakaiannya.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, sampah perlu dikelola secara terpadu baik dari aspek teknik operasional, kelembagaan, keuangan, pengaturan maupun partisipasi masyarakat. Pengelolaan sampah perlu ditekankan melalui upaya 3R (Reduce, Reuse, Recycle).

Pada bagian hulu, besarnya volume timbulan sampah perlu direduksi seminimal mungkin bahkan sampai pada tingkatan tidak ada buangan sampah (zero waste) dengan cara melibatkan partisipasi masyarakat dalam pemilahan maupun pengolahan sampah. Proses pengangkutan sampah perlu dioptimalkan agar tidak terjadi penumpukan sampah di kota akibat keterlambatan pengangkutan sampah.

Di bagian hilir, TPA perlu dikelola secara optimal baik dalam pemanfaatan dan pengolahan sampah maupun dalam pengelolaan kualitas lingkungan TPA agar umur TPA dapat diperpanjang serta tidak menimbulkan potensi konflik dengan warga sekitar TPA. Metode Open Dumping yang dilaksanakan selama ini perlu diganti menjadi Sanitary Landfill.

Untuk mengantisipasi kesinambungan umur serta ketersediaan lahan TPA, perlu dikaji kemungkinan pembuatan TPA regional terpadu antara Pemerintah Kota Magelang dengan Pemerintah Daerah lainnya khususnya dengan Pemerintah Kabupaten Magelang. Selain itu, paradigma selama ini yang menganggap sampah hanyalah sebagai residu yang tidak berguna perlu diubah menjadi suatu peluang investasi yang dapat mendatangkan keuntungan dengan pengelolaan sampah secara benar dan profesional.

2.3 MODAL DASAR

Modal dasar pembangunan Kota Magelang adalah seluruh sumber kekuatan baik yang efektif maupun potensial, bisa diperbarui (tangible) atau tidak bisa diperbarui (intangible), yang dimiliki dan didayagunakan oleh Pemerintah Kota Magelang dalam melaksanakan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Modal dasar tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

  1. Posisi yang strategis, Kota Magelang berada pada persimpangan jalur perhubungan dengan kota-kota di sekitarnya yaitu jalur transportasi antar Semarang - Yogyakarta, Semarang – Purworejo, Wonosobo – Salatiga dan kota-kota di sekitarnya. Posisi tersebut merupakan salah satu modal potensial yang menjadikan Kota Magelang dapat dikategorikan sebagai kota kecil dengan nilai strategis yang memiliki faktor daya tarik (pull factor), pengaruh, daerah tujuan, dan menjadi barometer bagi daerah-daerah di sekitarnya seperti Kabupaten Magelang, Temanggung, Wonosobo, dan Purworejo.
  2. Luas wilayah Kota Magelang yang sangat terbatas hanya +18,12 Km2 menjadi potensi yang memudahkan daya jangkau perluasan pembangunan hingga ke sudut-sudut kota, sehingga pemerataan hasil pembangunan secara relatif akan dapat dirasakan langsung oleh sebagian besar penduduknya. Selain itu pendeknya jarak yang harus ditempuh juga akan memudahkan koordinasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
  3. Keberadaan Gunung Tidar merupakan kekhasan (landmark) Kota Magelang yang tidak dimiliki oleh banyak daerah lainnya. Selain sebagai kawasan hutan lindung, lokasi ini juga dapat dimanfaatkan sebagai arena rekreasi alam dan wisata spiritual. Nuansa spiritual sebenarnya secara tradisional pada hari-hari tertentu sudah berjalan selama ini. Karena itu perlu diadakan penggalian terhadap kandungan keluhuran nilai spiritualnya yang merupakan warisan nenek moyang (local wisdom), untuk kemudian diaktualisasikan dan direlevansikan dengan konteks kondisi yang tengah berjalan. Apabila dikemas dengan baik serta dilengkapi fasilitas infrastruktur yang memadai dapat diproyeksikan ke depannya akan menjadi obyek wisata yang bernilai yang akan memperkuat daya tarik Kota Magelang disamping fasilitas wisata yang telah ada saat ini, seperti cagar alam, cagar budaya, mainan anak-anak di Taman Kyai Langgeng; museum; bangunan bersejarah; seni dan budaya tradisional; taman-taman kota; wisata belanja (shopping tourism) di sepanjang pecinan (chinatown); wisata kuliner; dan bentuk wisata kontemporer lainnya.
  4. Walaupun sumber daya alam di Kota Magelang sangat terbatas, namun dengan kualitas penduduk yang cukup memadai dengan rata-rata tingkat pendidikan yang lebih baik dibandingkan daerah sekitarnya memberi pengaruh positif terhadap peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan daerah, sejak dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan serta pemeliharaan hasil-hasil pembangunan. Karena penduduk merupakan sumber daya potensial dan produktif bagi pembangunan, maka proporsi jumlah penduduk usia produktif di Kota Magelang yang besar (44,52 persen dari sejumlah 119.904 jiwa pada tahun 2006) akan menjadi potensi yang luar biasa dalam menggerakkan roda pembangunan apabila diberi peran, peluang, dan kesempatan yang memadai sesuai dengan kemampuan, pengetahuan, dan ketrampilan yang dimilikinya.
  5. Tersedianya sarana dan prasarana perkotaan yang mendukung Kota Magelang sebagai Kota Jasa. Fasilitas sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan sudah lengkap dan tersebar secara merata di Kota Magelang. Jangkauan pelayanannya mencakup wilayah hinterland, sehingga berpotensi menjadi pusat layanan pendidikan dan kesehatan di tingkat regional. Sedangkan sarana perekonomian juga cukup lengkap yang didukung dengan keberadaan sarana untuk jasa perdagangan baik tradisional maupun modern, serta jasa keuangan dan perbankan.
  6. Terpelihara dan terjaganya stabilitas keamanan wilayah, dengan dukungan satuan-satuan Polri dan TNI-AD yang bermarkas di wilayah Kota Magelang, menjadi modal yang sangat berharga dalam menciptakan kondusifitas penyelenggaraan aktivitas pemerintah dan masyarakat sehari-harinya. Begitu pula interaksi sosial yang harmonis dan kerukunan hubungan antar umat beragama yang telah tercipta selama ini memberi atmosfer kedamaian, aman dan nyaman bagi para penduduknya. Iklim sejuk ini, apabila didukung dengan aparatur pemerintah yang bersih serta dengan menerapkan prosedur yang mudah dan murah akan menjadi penarik investor untuk menanamkan modalnya di Kota Magelang.
  7. Tingkat kesadaran politik masyarakat telah cukup baik sebagaimana dicerminkan oleh tingginya partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu Legislatif, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004, dan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2005 sehingga dihasilkan figur-figur pimpinan yang dapat mengemban amanat rakyat secara berkesinambungan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Kota Magelang.
  8. Peran masyarakat madani (civil society) dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan baik sebagai penyeimbang, pengontrol, maupun partner pemerintah dalam proses pembangunan. Fenomena ini akan memberi kontribusi yang besar bagi terciptanya penadbiran (good governance) dalam praktik penyelenggaran pemerintahan. Pemerintahan yang baik dan bersih secara signifikan akan memposisikan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup masyarakat sebagai orientasi utamanya.
  9. Budaya yang merupakan cerminan dari hasil cipta, rasa dan karsa warga Kota Magelang sangat dipengaruhi oleh kualitas manusianya dari aspek pendidikan, kesehatan dan hidup layak sebagaimana telah dikompositkan ke dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Kota Magelang yang beberapa tahun terakhir memiliki angka IPM yang tinggi dan diatas rata-rata sebagian besar Kabupaten/Kota di Jawa Tengah bisa menjadi modal yang cukup besar untuk mencapai visi pembangunan jangka panjang yang telah dicanangkan.
  10. Kualitas SDM aparatur pemerintah cukup baik dibandingkan daerah sekitarnya. Ini ditunjukkan dengan banyaknya PNS yang telah mengenyam pendidikan tinggi, hingga S-2 dan S-3. Selain itu, menyadari pentingnya kualitas sumber daya manusia guna kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya, Kota Magelang secara nyata melakukan segala upaya untuk memacu masyarakat agar mempunyai daya saing dan nilai tambah terhadap berbagai produk unggulan yang dihasilkannya. Pengembangan iptek melalui program krenova dengan memberi penghargaan baik secara individu maupun lembaga yang berhasil menemukan inovasi baru di bidang sosial maupun ilmu alam yang bisa memberi manfaat bagi kehidupan manusia menjadi modal berharga terhadap kemajuan iptek yang berbasis local genuine. Disamping itu pengembangan ICT (information and communication technology) di instansi pemerintah, swasta, dan sekolah-sekolah merupakan potensi yang harus dikembangkan dalam memperkuat daya saing dan kolaborasi Kota Magelang dengan daerah-daerah lainnya baik dalam skala regional, nasional maupun internasional sejalan dengan pesatnya kemajuan teknologi di era globalisasi.

3 VISI DAN MISI PEMBANGUNAN KOTA MAGELANG TAHUN 2005-2025

3.1 VISI

Berdasarkan kondisi Kota Magelang saat ini, tantangan yang dihadapi dalam kurun waktu dua puluh tahun mendatang, serta dengan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki, maka ditetapkan Visi Kota Magelang Tahun 2005-2025:

“Magelang Sebagai Kota Jasa Yang Berbudaya, Maju Dan Berdaya Saing Dalam Masyarakat Madani”

Visi pembangunan daerah tahun 2005-2025 itu mengarah pada pencapaian cita-cita dan harapan masyarakat Kota Magelang. Adapun makna visi tersebut adalah:

  1. Magelang, Magelang diartikan sebagai suatu daerah otonom. Daerah otonom (selanjutnya disebut daerah) adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah menunjukkan suatu kesatuan pemerintahan dan kemasyarakatan beserta semua potensi yang dimiliki.
  2. Kota Jasa, artinya pembangunan Kota Magelang diarahkan untuk memperkuat sektor jasa yang didominasi oleh jasa pemerintahan umum dan jasa swasta sebagai potensi kota, dengan menitikberatkan pada sektor perekonomian, sektor kesehatan dan sektor pendidikan.
  3. Berbudaya, artinya masyarakat Kota Magelang diarahkan untuk memperkuat jati diri yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, patuh pada aturan hukum, dapat memelihara kerukunan internal dan antar umat beragama, melaksanakan interaksi antar budaya dan menerapkan nilai-nilai luhur yang sudah ada.
  4. Maju, artinya bahwa pelaksanaan pembangunan daerah senantiasa dilandasi dengan keinginan bersama untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik secara fisik maupun non fisik didukung oleh sumber daya manusia yang unggul dan berdaya saing tinggi, berperadaban tinggi, profesional serta berwawasan kedepan yang luas. Maju juga diarahkan pada terbentuknya daerah yang mampu mengelola segenap potensinya dengan tetap mengedepankan pentingnya kerjasama dan sinergisitas.
  5. Berdaya Saing, artinya Kota Magelang diarahkan sebagai kota yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif melalui pengembangan seluruh kekuatan perekonomian daerah sebagai pemacu tumbuh dan berkembangnya perekonomian rakyat yang berdaya saing tinggi, didukung oleh sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing.
  6. Madani, artinya Masyarakat Kota Magelang diarahkan untuk hidup agamis dengan damai dan demokratis, menjunjung tinggi dan menegakkan hukum dengan penuh kesadaran (adil), menghargai hak asasi manusia dan maju kehidupan lahir batinnya (makmur).

3.2 MISI

Berdasarkan Visi tersebut ditetapkan Misi Pembangunan Kota Magelang Tahun 2005-2025 sebagai berikut:

  1. Mewujudkan Kota Magelang sebagai pusat pelayanan jasa yang didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas dan fasilitas yang memadai.
  2. Mewujudkan masyarakat Kota Magelang yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab.
  3. Meningkatkan daya saing daerah melalui pengelolaan pembangunan Kota Magelang yang efisien, efektif, profesional dan berwawasan lingkungan serta mengembangkan potensi daerah secara kreatif dan inovatif didukung oleh penguasaan iptek dan sumber daya manusia yang berkualitas.
  4. Mengembangkan perekonomian Kota Magelang yang bertumpu pada penguatan ekonomi kerakyatan, penciptaan iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yang ditandai dengan penurunan angka kemiskinan dan peningkatan pendapatan masyarakat.
  5. Mewujudkan good governance dan clean government dengan melibatkan dunia usaha, masyarakat madani (civil society), dan media massa untuk menuju kehidupan masyarakat Kota Magelang yang damai, demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran.

4 ARAH, TAHAPAN, DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG TAHUN 2005-2025

Tujuan pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025 adalah mewujudkan Kota Jasa yang berbudaya, maju dan berdaya saing dalam masyarakat madani.

Sebagai tolok ukur tercapainya kota Magelang sebagai kota jasa yang berbudaya, maju dan berdaya saing menuju masyarakat madani, pembangunan daerah dalam 20 tahun mendatang diarahkan pada pencapaian sasaran–sasaran pokok sebagai berikut:

  1. Terwujudnya Kota Magelang sebagai pusat pelayanan jasa yang didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas dan fasilitas yang memadai, ditandai oleh hal-hal berikut:
    1. Terwujudnya Kota Magelang sebagai pusat pelayanan jasa untuk wilayah Jawa Tengah Bagian Tengah.
    2. Terpenuhinya kualitas sumber daya manusia untuk kebutuhan jasa perekonomian, jasa kesehatan dan jasa pendidikan di kota Magelang.
    3. Terlengkapinya sarana dan prasarana fisik sebagai pendukung penyelenggaraan jasa perekonomian, jasa kesehatan dan jasa pendidikan sebagai fasilitas pendukung kota jasa.
  2. Terwujudnya masyarakat Kota Magelang yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab, ditandai oleh hal-hal berikut:
    1. Terwujudnya karakter masyarakat yang berakhlak mulia dan bermoral yang berdasarkan falsafah Pancasila. Dicirikan dengan watak, perilaku masyarakat yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi iptek dan sumber daya manusia yang berkualitas.
    2. Perilaku masyarakat yang berbudaya, ditandai dengan meningkatnya peradaban, harkat, martabat, menguatnya jati diri, kepribadian, menguatnya ketahanan dan modal sosial masyarakat.
  3. Terwujudnya daya saing daerah melalui pengelolaan pembangunan Kota Magelang yang efisien, efektif, profesional, berwawasan lingkungan, mengembangkan potensi daerah secara kreatif, inovatif didukung oleh penguasaan iptek dan sumber daya manusia yang berkualitas, ditandai oleh hal-hal berikut:
    1. Terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif, didukung oleh peran sektor jasa dengan kualitas pelayanan yang lebih bermutu dan berdaya saing.
    2. Tingkat pembangunan yang semakin merata keseluruh wilayah diwujudkan dengan peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.
    3. Terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat, didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang yang berkelanjutan, efisien, dan efektif untuk mewujudkan hunian kota tanpa permukiman kumuh.
    4. Terwujudnya lingkungan perkotaan yang sesuai dengan kehidupan layak dan berkelanjutan, serta mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat dalam mendukung kualitas kehidupan sosial, ekonomi secara serasi, seimbang dan lestari.
    5. Tersusunnya jaringan infrastruktur perhubungan yang memadai dan terintegrasi dengan wilayah sekitar, serta terselenggaranya pelayanan pos dan telematika yang efisien dan modern guna terciptanya masyarakat informasi.
  4. Terwujudnya perekonomian Kota Magelang yang bertumpu pada penguatan ekonomi kerakyatan, penciptaan iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dengan ditandai penurunan angka kemiskinan dan peningkatan pendapatan masyarakat.
    1. Tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkesinambungan sehingga pendapatan perkapita pada tahun 2025 mencapai 5 (lima) besar tingkat kesejahteraan di wilayah Jawa Tengah.
    2. Tercapainya keberdayaan masyarakat dengan terfasilitasinya kebutuhan dasar, menguatnya etos kerja dan produktivitas, serta adanya jaminan perlindungan sosial.
    3. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia, termasuk peran perempuan dalam pembangunan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat diukur dari meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sedangkan kemajuan peran perempuan diukur dengan peningkatan Indeks Pembangunan Gender (IPG) atau Angka GDI (Gender-related Development Index) yang mengukur kualitas hidup perempuan dengan meramu komponen pendidikan, kesehatan dan ekonomi, serta peningkatan Angka GEM (Gender Empowerment Measurement) yang menitikberatkan pada partisipasi perempuan di bidang ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan.
  5. Terwujudnya good governance dan clean government dengan melibatkan dunia usaha, masyarakat madani (civil society), dan media massa sehingga kehidupan masyarakat Kota Magelang agamis, damai, demokratis, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran, ditandai dengan hal-hal berikut:
    1. Meningkatnya profesionalisme aparatur pemerintah daerah untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, dan bertanggung jawab, serta profesional yang mampu mendukung pembangunan kota Magelang.
    2. Terciptanya supremasi hukum dan penegakan hak azasi manusia yang bersumber pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 tanpa memandang kedudukan, pangkat dan jabatan seseorang.
    3. Terwujudnya konsolidasi demokrasi pada berbagai aspek kehidupan politik yang dapat diukur dengan adanya penyelenggaraan pemerintah yang berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, birokrat yang profesional dan netral, masyarakat politik dan masyarakat ekonomi yang mandiri.
    4. Terwujudnya peningkatan peran dunia usaha dalam ikut serta menggerakkan roda pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat melalui tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).
    5. Tercapainya peningkatan partisipasi masyarakat madani (civil society) dan media massa yang berperan sebagai partner, rekanan, serta pengontrol dan penyeimbang (check and balance) jalannya penyelenggaraan pemerintah­an, pembangunan, dan kemasyarakatan dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara demi terwujudnya kesejahteraan rakyat yang berkeadilan.

Untuk mencapai tingkat perkembangan MAGELANG SEBAGAI KOTA JASA YANG BERBUDAYA, MAJU DAN BERDAYA SAING DALAM MASYARAKAT MADANI yang diinginkan Pemerintah Kota Magelang, arah pembangunan jangka panjang daerah selama kurun waktu 20 tahun mendatang adalah sebagai berikut:

  1. ARAH PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG 2005-2025
    1. Mewujudkan Kota Magelang sebagai pusat pelayanan jasa yang didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas dan fasilitas yang memadai, diarahkan melalui:
      1. Peningkatan pembangunan dan pengembangan fasilitas sarana dan prasarana perkotaan.
      2. Peningkatan aksesibilitas untuk mendapatkan pelayanan publik.
      3. Peningkatan kemampuan dan ketrampilan Sumber Daya Manusia.
    2. Mewujudkan masyarakat Kota Magelang yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab diarahkan melalui:
      1. Pembentukan karakter masyarakat yang berakhlak mulia dan bermoral berdasarkan falsafah Pancasila. Dicirikan dengan watak, perilaku masyarakat yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong dan berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi iptek dan sumber daya manusia yang berkualitas.
      2. Peningkatan pemahaman dan pengamalan agama serta nilai-nilai luhur budaya dalam kehidupan dan penghidupan sehari-hari masyarakat Kota Magelang.
      3. Pemantapan budaya dan kearifan lokal masyarakat Kota Magelang yang memiliki jati diri untuk mendukung harkat dan martabatnya, serta memperkuat ketahanan dan modal sosial masyarakat dalam suasana kebersamaan, kegotong-royongan, saling peduli dan saling membantu dalam membangun keluarga sejahtera secara mandiri.
    3. Mewujudkan daya saing daerah melalui pengelolaan pembangunan Kota Magelang yang efisien, efektif, profesional, berwawasan lingkungan, mengembangkan potensi daerah secara kreatif, inovatif, didukung oleh penguasaan iptek dan sumber daya manusia yang berkualitas, diarahkan melalui:
      1. Peningkatan kualitas pelayanan beserta sumber daya manusianya di berbagai aspek sehingga mempunyai daya saing yang dapat diandalkan dalam mendukung pertumbuhan perekonomian.
      2. Peningkatan profesionalitas dalam pengelolaan pembangunan kota yang disertai peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendukungnya sehingga mampu menjadi penyangga wilayah sekitar.
      3. Pengelolaan lingkungan hidup kawasan perkotaan dengan meningkatkan kualitas ruang-ruang terbuka hijau dan taman-taman kota serta menjaga kualitas air, udara serta sumber daya alam lainnya dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
      4. Penciptaan iklim yang kondusif sebagai pendukung kreativitas masyarakat untuk menciptakan inovasi dalam mengembangkan potensi kota.
      5. Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan teknologi sesuai perkembangannya sebagai pendukung profesionalitas dan kinerja masyarakat dalam partisipasinya melaksanakan pembangunan.
    4. Mewujudkan perekonomian Kota Magelang yang bertumpu pada penguatan ekonomi kerakyatan, penciptaan iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yang ditandai dengan penurunan angka kemiskinan dan peningkatan pendapatan masyarakat, diarahkan melalui:
      1. Penguatan ekonomi kerakyatan melalui peningkatan daya saing Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan Koperasi;
      2. Penciptaan iklim investasi yang kondusif untuk pendukung pengembangan sektor industri kecil, perdagangan dan jasa-jasa lainnya;
      3. Penyediaan sumber daya manusia berkualitas yang mampu mendukung pengembangan-pengembangan usaha di Kota Magelang;
      4. Penumbuhkembangan lembaga keuangan sebagai pendukung pengembangan ekonomi daerah;
      5. Peningkatan kerjasama ekonomi antar daerah/wilayah;
      6. Peningkatan peran pemerintah dalam memfasilitasi peningkatan permodalan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan Koperasi;
      7. Peningkatan peran serta masyarakat dalam penciptaan lapangan kerja melalui usaha ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
      8. Peningkatan sistem kelembagaan dan infrastruktur perekonomian yang maju;
      9. Peningkatan pemerataan pendapatan masyarakat melalui perluasan kesempatan kerja;
      10. Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas melalui peningkatan investasi dan ekspor.
      11. Peningkatan pemberdayaan masyarakat melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar, penguatan produktivitas, dan perlindungan sosial.
    5. Mewujudkan good governance dan clean government dengan melibatkan dunia usaha, masyarakat madani (civil society), dan media massa untuk menuju kehidupan masyarakat Kota Magelang agamis, damai, demokratis, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran, diarahkan melalui:
      1. Peningkatan kualitas pelayanan umum yang didukung oleh SDM aparatur pemerintah yang profesional;
      2. Penciptaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme;
      3. Penciptaan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan di lingkungan Pemerintah Kota Magelang;
      4. Penegakan Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mencerminkan keadilan dan kebenaran;
      5. Pemberian peran dan fungsi yang proporsional terhadap dunia usaha, masyarakat madani, dan media massa untuk berkiprah dalam proses pelaksanaan pembangunan daerah.
  2. TAHAPAN DAN SKALA PRIORITAS
    Untuk mencapai tujuan MAGELANG SEBAGAI KOTA JASA YANG BERBUDAYA, MAJU DAN BERDAYA SAING DALAM MASYARAKAT MADANI, akan ditempuh tahap-tahap pelaksanaannya melalui:
    1. RPJM Daerah Ke-1 (2005-2010), Berlandaskan pelaksanaan dan pencapaian pembangunan tahap sebelumnya, RPJM Daerah ke-1 diprioritaskan untuk meletakkan sendi-sendi pokok sebagai kota jasa yaitu dengan mengupayakan:
      1. Melengkapi sarana dan prasarana fisik sebagai pendukung penyelenggaraan jasa perekonomian, jasa kesehatan dan jasa pendidikan;
      2. Penyempurnaan sarana dan prasarana pelayanan dasar;
      tanpa mengabaikan pembangunan di bidang lain sebagai upaya menuju masyarakat yang lebih sejahtera.
    2. RPJM Daerah Ke-2 (2011-2015), Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJM Daerah Ke-1, RPJM Daerah Ke-2 diprioritaskan untuk:
      1. Mewujudkan Kota Magelang yang berbudaya, maju dan berdaya saing melalui upaya-upaya peningkatan kualitas SDM;
      2. Memantapkan peran dan fungsi lembaga pemerintah, swasta, masyarakat madani, dan media massa sebagai pendukung pelayanan jasa perekonomian, jasa kesehatan dan jasa pendidikan;
      3. Memberi pelayanan masyarakat yang lebih baik dibandingkan dengan daerah-daerah lain;
      tanpa mengabaikan pembangunan di bidang lainnya.
    3. RPJM Daerah Ke-3 (2016-2020), Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJM Daerah Ke-2, RPJM Daerah Ke-3 diprioritaskan untuk:
      1. Meningkatkan dan memantapkan upaya menyejahterakan masyarakat melalui optimalisasi peran dan fungsi lembaga pemerintah, swasta, masyarakat madani, dan media massa khususnya dalam pelayanan jasa perekonomian, jasa kesehatan dan jasa pendidikan;
      2. Menciptakan peluang kerja dalam bidang pelayanan jasa perekonomian, jasa kesehatan dan jasa pendidikan;
      tanpa mengabaikan pembangunan di bidang lain sebagai upaya menuju masyarakat yang berdaya dan mandiri.
    4. RPJM Daerah Ke-4 (2021-2025), Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJM Daerah Ke-3, RPJM Daerah Ke-4 diprioritaskan untuk:
      1. memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang;
      2. mewujudkan tercapainya perekonomian daerah yang berdaya saing tinggi, berlandaskan budaya yang unggul, sumber daya manusia yang berkualitas dan mandiri;
      3. mewujudkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat madani.

5 KAIDAH PELAKSANAAN

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah Kota Magelang Tahun 2005 – 2025 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005 – 2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005 – 2025 yang memuat visi, misi dan arah pembangunan daerah Kota Magelang tahun 2005 – 2025.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah Kota Magelang Tahun 2005 – 2025 selanjutnya akan menjadi acuan dan pedoman bagi Pemerintah Kota Magelang dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Kota Magelang untuk tahun 2011-2015, tahun 2016-2020, dan tahun 2021-2025.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka ditetapkan kaidah – kaidah pelaksanaan sebagai berikut:

  1. Agar terjadi kesinambungan dalam penyusunan kebijakan daerah, maka calon Walikota harus memperhatikan RPJP Daerah Kota Magelang Tahun 2005 – 2025 dan menjadikannya sebagai pedoman dalam menyusun visi dan misi daerah yang selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Kota Magelang untuk tahun 2011-2015, tahun 2016-2020, dan tahun 2021-2025.
  2. Lembaga eksekutif dan lembaga legislatif Kota Magelang dengan didukung oleh Instansi Vertikal yang ada di wilayah Kota Magelang dan masyarakat termasuk dunia usaha, berkewajiban untuk melaksanakan program–program dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah Kota Magelang Tahun 2005 – 2025.
  3. Walikota dalam menjalankan tugas penyelenggaraan pemerintahan daerah berkewajiban untuk mengarahkan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah Kota Magelang Tahun 2005–2025 dengan menggerakkan secara optimal semua potensi dan kekuatan daerah.
  4. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Kota Magelang berkewajiban untuk menyusun rencana strategis yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pokok pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsinya yang disusun dengan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah Kota Magelang Tahun 2005 – 2025 yang akan menjadi pedoman dalam menyusun Rencana Kerja Perangkat Daerah Kota Magelang serta menjamin konsistensinya.

6 PENUTUP

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah Kota Magelang Tahun 2005–2025 yang berisi visi, misi, dan arah pembagunan Kota Magelang, merupakan pedoman bagi pemerintah dan masyarakat di dalam penyelenggaraan pembangunan jangka panjang daerah 20 (dua puluh) tahun ke depan. RPJP Daerah juga menjadi arah dan pedoman di dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah, dan penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) setiap tahunnya selama periode tersebut di atas. Selain itu juga sebagai koridor dalam penyusunan visi, misi dan program calon Walikota dalam kurun waktu 5 (lima) tahunan.

Proses penyusunan RPJP Daerah Kota Magelang telah melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholders) pembangunan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, sehingga hasilnya benar–benar merupakan kesepakatan yang dapat diterima oleh berbagai pihak.

Langkah-langkah untuk mewujudkan RPJP Daerah Kota Magelang Tahun 2005–2025 dibagi dalam 4 (empat) tahap. Tahap pertama RPJM Kota Magelang Tahun 2005–2010 yang telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2005 sudah merupakan dalam tahapan RPJP Daerah Kota Magelang Tahun 2005–2025.

Untuk mewujudkan visi “Magelang Sebagai Kota Jasa Yang Berbudaya, Maju dan Berdaya Saing Dalam Masyarakat Madani“ perlu didukung oleh (1) komitmen dari kepemimpinan daerah yang berakhlak mulia, kapabel, berkualitas dan demokratis (2) Good Governance dan Clean Government (3) konsistensi kebijakan pemerintah daerah (4) keberpihakan kepada rakyat (5) partisipasi aktif dari masyarakat, media massa, dan pihak swasta (6) mekanisme kontrol dan pengawasan serta akuntabilitas publik yang baik.